count on me

Tuesday, December 22, 2015

Secuil Kisah Seorang Waria

Dalam sebuah perjalanan saya bersama ke-5 teman saya yakni Zulfa Zumrotun, Zulfatun Ulaini, Rohmatul Umah, Wike Lusiana, dan Stipan Bhakti, melakukan sebuah wawancara dengan seorang waria. Kami sebelumnya  sudah melakukan janjian di Blitar tepat dirumah seorang waria tersebut untuk wawancara kali  ini. Kami bertamu ke rumahnya malam hari sekitar pukul 20.00 WIB karena perjalanan kami di mulai dari Tulungagung. Awalnya, kami merasa takut dan gugup ketika akan bertemu dengan waria tersebut namun pada akhirnya saat bertemu perasaan ataupun pikiran negatif hilang seketika. Semua itu karena waria yang kami temui welcome pada kami. Dia orang yang baik, humoris, serta enak diajak bicara.
“Aku ini orang baik-baik nggak suka keluar malam, jadi nanti tulisanmu akan cacat (kurang) kalau kalian wawancara saya”, kata waria itu sebelum kami membuka pertanyaan. Kami memahami kemungkinan besar yang ada dalam benak waria itu bahwa kami ingin mencari informasi tentang stigma waria, seperti kehidupan malamnya atau perilaku menyimpang yang tidak sesuai dengan norma-norma yang berlaku.
Waria itu bernama Nadya (nama populernya). Ia masih seumuran dengan kami, tepat pada 22 September 19 tahun yang lalu. Ia sekarang menetap di Desa Bedali, Kabupaten Blitar. Ia tinggal bersama kedua orang tuanya, dia anak tunggal. Ia pernah menempuh pendidikan di SD, SMP, dan putus sekolah sejak kelas 2 SMK Jurusan TKJ. Dalam perjalanan hidupnya ia memang sudah tertarik dengan kehidupan menjadi seorang perempuan sejak kelas 5 SD dengan ia memakai bedak, lipstik, dan baju ketat. Lalu hal itu berlanjut di SMP dengan ia banyak bergaul dengan perempuan, setelah itu di SMK Jurusan TKJ. Awalnya, Nadya ini tidak tertarik dengan jurusan TKJ (Teknik Komputer Jaringan) dan ingin mengambil jurusan kecantikan. Namun harapannya sirna ketika biaya masuk jurusan kecantikan cukup mahal dan mengingat dirinya dari keluarga yang kurang mampu (untuk membiayai masuk SMK orang tuanya harus hutang di bank).
Dengan berjalannya waktu, ia akhirnya masuk di SMK Jurusan TKJ. Ketidaktertarikannya terhadap jurusan tersebut membuat dirinya tidak serius menempuh pendidikan. Sehari-hari ia hanya memperhatikan fashion-nya saja. Pernah suatu ketika ia mengahadap kepala sekolah dan meminta izin untuk memakai rok saat sekolah, namun hasilnya nihil, kepala sekolah tidak mengizinkan. Sebenarnya, waria ini tergolong siswa berprestasi, yakni dalam hal kesenian seperti bernyanyi dan menari. Ia juga sering memenangkan perlombaan dalam bidang tersebut. Ia memutuskan untuk putus sekolah dengan alasan tidak adanya biaya, tapi sebenarnya ada hal lain di balik itu, yakni wakil kepala sekolah yang paling utama yang tidak mengharapkan keberadaannya di sekolah tersebut yang menganggap kehadirannya akan membuat malu sekolah. Meski ada sebagian guru-guru menginginkan ia untuk tetap tinggal karena prestasinya dalam bidang kesenian. Saat kami menanyakan perihal beasiswa, ya ia pernah mendaftar sebanyak dua kali dan hasilnya nihil, entah apa yang terjadi tapi menurutnya ia tidak mendapatkan beasiswa karena setiap hari ia selalu berpakaian rapi meski ia dari orang yang tidak punya sedangkan teman-temannya yang mendapat beasiswa, mereka selalu berpakaian korak atau tidak rapi padahal mereka dari orang yang punya bahkan orang tuannya kaya. Lalu ia menyimpulkan bahwa orang yang kesehariannya berpenampilan rapi itu dipandang orang kaya sedangkan orang yang berpenampilan tidak rapi dianggap orang miskin.
Setelah ia memutuskan untuk tidak melanjutkan pendidikan, ia memutuskan untuk bekerja. Ia bekerja mulai dari pelayan sampai jadi penyanyi. Ia bisa bekerja menjadi pelayan tanpa menggunakan identitas karena kebetulan diajak teman, selain itu juga yang terpenting adalah penampilan begitu menurutnya. Saat bekerja menjadi pelayan di sebuah rumah makan sekitar 4 bulan ia pernah mendapat perlakuan tidak baik terhadap gaji yang di terimanya. Ia bekerja 24 jam non-stop, 24 jam di hitung gaji 24 ribu, jadi selama satu bulan seharusnya ia mendapat gaji sekitar Rp 700.000,- tapi pada kenyataannya ia hanya di beri gaji sekitar 100 ribu – 150 ribu. Saat menjadi seorang penyanyi, pernah ada seseorang yang setelah mengetahui dirinya bukanlah perempuan melainkan seorang waria, orang itu secara tiba-tiba membatalkan job-nya secara sepihak.  Keseharian yang ia jalani saat ini ialah menunggu panggilan untuk nyanyi & nyalon. Ia mempergunakan uangnya tersebut untuk modal usaha membuka salon.
“Menjadi waria bukanlah pilihan, bukanlah kemauan, bukanlah cita-cita, bukan juga keinginan orang tua”, ujar Nadya. Menurutnya waria itu jiwanya terjebak dalam tubuh yang salah. Saat ini Nadya sudah memiliki kekasih (seorang laki-laki yang saat ini berada di daerah Jawa Tengah) dan kekasihnya tersebut sudah mengetahui dirinya yang sebenarnya. Mereka bercita-cita untuk menikah, namun dengan keadaannya yang saat ini membuat dirinya bimbang apakah mungkin?. Menurutnya, Indonesia itu negara hukum namun dalam prakteknya semisal untuk melakukan pernikahan atas dirinya hanya bisa dilakukan pernikahan siri, tidak ada surat nikah yang ada hanya surat perjanjian. Dan itupun harus sembunyi-sembunyi tanpa ada orang yang tahu. Ia mengatakan bahwa jika ada orang yang mengetahui status hubungan maupun identitasnya, jika masyarakat sekitarnya pengertian maka hal itu akan baik-baik saja, namun sebaliknya jika masyarakat sekitar tidak pengertian ia bisa di penjarakan jika ia tidak punya uang tutup mulut.
Ia berharap bisa mengganti namanya meski tidak bisa mengganti kelamin, karena menurutnya operasi kelamin tidak semudah yang di bayangkan karena pada akhirnya yang bisa menentukan status perubahan alat kelamin ialah MUI. Jika MUI mengetok palu sah disetujui maka ia bisa menjadi perempuan begitu pula sebaliknya. Ia juga berharap untuk bisa menikah dengan seorang laki-laki karena menurutnya jika ia menikah dengan perempuan itu mustahil karena menganggap dirinya sama dengan perempuan jika menikah dengan perempuan sama saja menikah dengan satu darah atau tidak akan cocok. Untuk masalah keturunan ia  bercita-cita untuk mengadopsi anak.
Dari pengalaman seorang waria yang telah saya paparkan, saya menyimpulkan bahwa waria tergolong orang yang termarjinalkan dalam hal keberadaannya. Orang lain sering melihat sebelah mata orang-orang yang seperti itu, orang lain hanya bisa meremehkan, melontarkan kalimat bisa apa kamu?,  mau jadi apa kamu seperti ini?, atau sikap orang pemilik rumah makan yang cenderung tidak memanusiakan manusia karena anak buahnya adalah seorang waria seperti contoh diatas, dsb. Bahkan ada yang mengambil keuntungan dari keberadaan seorang waria tersebut semisal waria menikah dengan laki-laki, agar keduanya bisa hidup tenang mereka harus rela mengeluarkan uang tutup mulut bagi orang-orang yang mengambil keuntungan tersebut.
Hukum di Indonesia memang belum berpihak kepada waria, tapi setidaknya perilaku masyarakat untuk berpikiran positif terhadap waria itu haruslah di tumbuhkan agar tidak banyak kasus-kasus waria yang meresahkan masyarakat. Tidak seharusnya masyarakat memberikan stigma-stigma terhadap waria karena hal itu bisa membuat waria-waria yang dalam tanda kutip baik menjadi berubah mengikuti stigma masyarakat yang di berikan kepada waria secara umum. Hargailah waria sebagaimana menghargai manusia pada umumnya.(ylo)


Sunday, November 8, 2015

Penerapan Dua Paradigma dalam Undang-Undang Pilkada (UU No. 8 Tahun 2015)


Paradigma atau yang disebut model atau cara pandang yang bersifat ilmiah adalah cara pandang yang tidak bersifat individual melainkan kolektif, peers group, teman sejawat yang telah mengalami uji "laboratorium sosial". Oleh sebab itu perjalanan paradigma adalah perjalanan otodidak, tidak diciptakan dan diuji keabsahannya oleh kaum ilmuwan dan masyarakat.
Adapun paradigma yang berkembang dalam memberikan format atas hubungan interaksi perubahan sosial dan perubahan hukum adalah:
Hukum melayani kebutuhan masyarakat, agar supaya hukum itu tidak akan menjadi ketinggalan oleh karena lajunya perkembangan masyarakat.
Hukum dapat menciptakan perubahan sosial dalam masyarakat atau setidak-tidaknya dapat memacu perubahan-perubahan yang berlangsung dalam masyarakat.
Paradigma Pertama : Hukum melayani kebutuhan masyarakat, agar supaya hukum itu tidak akan menjadi ketinggalan oleh karena lajunya perkembangan masyarakat
Ciri-ciri yang terdapat dalam paradigma pertama ini adalah:
a.    Perubahan yang cenderung diikuti oleh sistem lain karena dalam kondisi ketergantungan.
b.    Ketertinggalan hukum di belakang perubahan sosial.
c.    Penyesuaian yang cepat dari hukum kepada keadaan baru.
d.   Hukum sebagai fungsi pengabdian.
e.    Hukum berkembang mengikuti kejadian berarti di tempatnya adalah di belakang peristiwa bukan mendahuluinya.
Paradigma pertama ini kita sebut sebagai Paradigma Hukum Penyesuai Kebutuhan. Makna yang terkandung dalam hal ini adalah bahwa hukum akan bergerak cepat untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan yang terjadi dalam masyarakat. Kebutuhan akan peraturan perundang-undangan yang baru misalnya adalah yang nampak jelas dalam paradigma ini. Kita tidak bisa menghindari bahwa kebutuhan masyarakat akan suatu pengaturan sedemikian besar tidak disertai oleh pendampingan hukum yang maksimal.
Lajunya perubahan sosial yang membawa dampak pada perubahan hukum tidak serta merta diikuti dengan kebutuhan secara langsung berupa peraturan perundang-undangan. Persoalan ini sudah masuk dalam ranah mekanisme dalam lembaga perwakilan rakyat.Tetapi kebutuhan masyarakat agar hukum mampu mengikuti sedemikian besar agar jaminan keadilan, kepastian hukum dapat terus terpelihara
Sebagai contoh dalam paradigma ini adalah kejahatan teknologi canggih seperti komputer, internet (cyber crime), pengaturan pernikahan beda agama, cloning, perbankan syari'ah, santet dan sejenisnya, pornografi, terorisme, status hukum waria, legalitas pernikahan lesbian dan homo, bayi tabung, eutha­nasia.
Sedemikian banyak sesungguhnya yang terjadi dalam masyarakat yang perlu dibungkus dengan baju hukum tetapi tidak semua diatur oleh hukum. Ini ibarat fenomena gunung es, yang secara realitas hal-hal tersebut adalah permukaan saja yang senyatanya lebih banyak dari contoh di atas.
Hal-hal yang diatur oleh hukum di kemudian hari sudah merupakan pilihan kebijakan publik dari pemerintah dengan beberapa pertimbangan. Kalaupun misalnya persoalan-persoalan di atas masuk dalam perkara di pengadilan maka yang dijadikan dasar adalah aturan yang bersifat umum, masih mencari-mencari peraturan bahkan sudah kadaluwarsa, tidak spesifik pada kasus tersebut.
Paradima pertama ini dalam interaksi perubahan sosial terhadap perubahan hukum paling banyak terjadi. Hal ini membuktikan bahwa hukum mempunyai peranan apabila masyarakat membutuhkan pengaturannya. Jadi sifatnya menunggu. Setelah suatu peristiwa menimbulkan sengketa, konflik, bahkan korban yang berjatuhan maka kemudian dipikirkan, apakah diperlukan pengaturannya secara formal dalam peraturan perundang-undangan. Kondisi ini menampilkan posisi hukum sangat tergantung sebagai variabel yang dependent terhadap perubahan sosial yang terjadi.
Paradigma Kedua : Hukum dapat menciptakan perubahan sosial dalam masyarakat atau setidak-tidaknya dapat memacu perubahan-perubahan yang berlangsung dalam masyarakat.”
Ciri-ciri yang terdapat dalam paradigma kedua ini adalah:
a.    Law as a tool of social engineering.
b.    Law as a tool of direct social change.
c.    Rerorientasi ke masa depan (forward looking).
d.   lus Constituendum.
e.    Hukum berperan aktif. 
f.     Tidak hanya sekedar menciptakan ketertiban tetapi menciptakan dan mendorong terjadinya perubahan dan perkembangan tersebut.
Esensi dari paradigma ini adalah penciptaan hukum digunakan untuk menghadapi persoalan hukum yang akan datang atau diperkirakan akan muncul. Paradigma kedua ini disebut sebagai Paradigma Hukum Antisipasi Masa Depan. Persoalan hukum yang akan datang dihadapi dengan merencanakan atau mempersiapkan secara matang, misalnya dari segi perangkat perundang-undangan. Hal ini banyak kita jumpai perundang-undangan yang telah diratifikasi di bidang hukum internasional misalnya peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup.
Berkaitan dengan paradigma ini, terdapat juga peraturan perundang-undangan yang digunakan untuk mengantisipasi perubahan sosial tetapi menghadapi polemik yang kontroversial dalam masyarakat. [1]
Dari paparan diatas penulis mencoba menganalisis perihal penerapan dua paradigma tersebut dalam undang-undang pemilihan kepala daerah.
Pemilihan kepala daerah (Pilkada atau Pemilukada) dilakukan secara langsung oleh penduduk daerah administratif setempat yang memenuhi syarat. Pemilihan kepala daerah dilakukan satu paket bersama dengan wakil kepala daerah. Kepala daerah dan wakil kepala daerah yang dimaksud mencakup:
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 8 TAHUN 2015
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1.        Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota yang selanjutnya disebut Pemilihan adalah pelaksanaan kedaulatan rakyat di wilayah provinsi dan kabupaten/kota untuk memilih Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota secara langsung dan demokratis.
2.        Dihapus.
3.        Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur adalah peserta Pemilihan yang diusulkan oleh partai politik, gabungan partai politik, atau perseorangan yang didaftarkan atau mendaftar di Komisi Pemilihan Umum Provinsi.
4.        Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota adalah peserta Pemilihan yang diusulkan oleh partai politik, gabungan partai politik, atau perseorangan yang didaftarkan atau mendaftar di Komisi Pemilihan Umum Kabupaten/Kota.
5.        Partai Politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
6.        Pemilih adalah penduduk yang berusia paling rendah 17 (tujuh belas) tahun atau sudah/pernah kawin yang terdaftar dalam Pemilihan.
7.        Komisi Pemilihan Umum yang selanjutnya disingkat KPU adalah lembaga penyelenggara pemilihan umum sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang mengatur mengenai penyelenggara pemilihan umum yang diberikan tugas dan wewenang dalam penyelenggaraan Pemilihan berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.
8.        KPU Provinsi adalah lembaga penyelenggara pemilihan umum sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang mengatur mengenai penyelenggara pemilihan umum yang diberikan tugas menyelenggarakan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.
9.        KPU Kabupaten/Kota adalah lembaga penyelenggara pemilihan umum sebagaimana dimaksud dalam undangundang yang mengatur mengenai penyelenggara pemilihan umum yang diberikan tugas menyelenggarakan Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.
10.    Badan Pengawas Pemilihan Umum yang selanjutnya disebut Bawaslu adalah lembaga penyelenggara pemilihan umum yang bertugas mengawasi penyelenggaraan pemilihan umum di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang mengatur mengenai penyelenggara pemilihan umum yang diberikan tugas dan wewenang dalam pengawasan penyelenggaraan Pemilihan berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.
11.    Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum yang selanjutnya disingkat DKPP adalah lembaga yang bertugas menangani pelanggaran kode etik penyelenggara pemilihan umum dan merupakan satu kesatuan fungsi penyelenggaraan pemilihan umum sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang mengatur mengenai penyelenggara pemilihan umum yang diberikan tugas dan wewenang dalam menangani pelanggaran kode etik penyelenggara Pemilihan berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.
12.    Panitia Pemilihan Kecamatan yang selanjutnya disingkat PPK adalah panitia yang dibentuk oleh KPU Kabupaten/Kota untuk menyelenggarakan Pemilihan di tingkat Kecamatan atau nama lain.
13.    Panitia Pemungutan Suara yang selanjutnya disingkat PPS adalah panitia yang dibentuk oleh KPU Kabupaten/Kota untuk menyelenggarakan Pemilihan di tingkat Desa atau sebutan lain/Kelurahan.
14.    Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara yang selanjutnya disingkat KPPS adalah kelompok yang dibentuk oleh PPS untuk menyelenggarakan pemungutan suara di tempat pemungutan suara.
15.    Tempat Pemungutan Suara yang selanjutnya disingkat TPS adalah tempat dilaksanakannya pemungutan suara untuk Pemilihan.
16.    Bawaslu Provinsi adalah lembaga penyelenggara pemilihan umum yang bertugas mengawasi penyelenggaraan pemilihan umum di wilayah provinsi sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang mengatur mengenai penyelenggara pemilihan umum yang diberikan tugas dan wewenang dalam pengawasan penyelenggaraan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.
17.    Panitia Pengawas Pemilihan Kabupaten/Kota yang selanjutnya disebut Panwas Kabupaten/Kota adalah panitia yang dibentuk oleh Bawaslu Provinsi yang bertugas untuk mengawasi penyelenggaraan Pemilihan di wilayah Kabupaten/Kota.
18.    Panitia Pengawas Pemilihan Kecamatan yang selanjutnya disebut Panwas Kecamatan adalah panitia yang dibentuk oleh Panwas Kabupaten/Kota yang bertugas untuk mengawasi penyelenggaraan Pemilihan di wilayah Kecamatan.
19.    Pengawas Pemilihan Lapangan yang selanjutnya disingkat PPL adalah petugas yang dibentuk oleh Panwas Kecamatan untuk mengawasi penyelenggaraan Pemilihan di Desa atau sebutan lain/Kelurahan.
20.    Pengawas Tempat Pemungutan Suara yang selanjutnya disebut Pengawas TPS adalah petugas yang dibentuk oleh Panwas Kecamatan untuk membantu PPL.
21.    Kampanye Pemilihan yang selanjutnya disebut Kampanye adalah kegiatan untuk meyakinkan Pemilih dengan menawarkan visi, misi, dan program Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota.
22.    Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluasluasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
23.    Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.
24.    Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi yang selanjutnya disebut DPRD Provinsi atau sebutan lainnya adalah lembaga perwakilan rakyat daerah di provinsi dan berkedudukan sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah.
25.    Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota yang selanjutnya disebut DPRD Kabupaten/Kota atau sebutan lainnya adalah lembaga perwakilan rakyat daerah di kabupaten/kota sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah.
26.    Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
27.    Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri.
28.    Hari adalah hari kalender.
Pasal 3
1)        Pemilihan dilaksanakan setiap 5 (lima) tahun sekali secara serentak di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2)        Dihapus.
Pasal 5
1)        Pemilihan diselenggarakan melalui 2 (dua) tahapan yaitu tahapan persiapan dan tahapan penyelenggaraan.
2)        Tahapan persiapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a.    perencanaan program dan anggaran;
b.    penyusunan peraturan penyelenggaraan Pemilihan;
c.    perencanaan penyelenggaraan yang meliputi penetapan tata cara dan jadwal tahapan pelaksanaan Pemilihan;
d.   pembentukan PPK, PPS, dan KPPS;
e.    pembentukan Panwas Kabupaten/Kota, Panwas Kecamatan, PPL, dan Pengawas TPS;
f.     pemberitahuan dan pendaftaran pemantau Pemilihan;
g.    penyerahan daftar penduduk potensial Pemilih; dan
h.    pemutakhiran dan penyusunan daftar Pemilih.
3)        Tahapan penyelenggaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a.    Dihapus.
b.    Dihapus.
c.    pengumuman pendaftaran pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta pasangan Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota;
d.   pendaftaran pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta pasangan Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota;
e.    penelitian persyaratan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota;
f.     penetapan pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta pasangan Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota;
g.    pelaksanaan Kampanye;
h.    pelaksanaan pemungutan suara;
i.      penghitungan suara dan rekapitulasi hasil penghitungan suara;
j.      penetapan calon terpilih;
k.    penyelesaian pelanggaran dan sengketa hasil Pemilihan; dan
l.      pengusulan pengesahan pengangkatan calon terpilih.
4)        Ketentuan lebih lanjut mengenai rincian tahapan persiapan dan penyelenggaraan Pemilihan diatur dengan Peraturan KPU.[3]
Secara garis besar ketiga pasal diatas sudah sesuai, namun perlu dicermati lagi pada pasal 3 ayat 1 bahwa pemilihan dilaksanakan setiap 5 (lima) tahun sekali secara serentak di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini menimbulkan pertanyaan apakah yang dimaksud disini semua kepala daerah yang sudah habis masa jabatannya atau yang belum habis masa jabatannya? Jawabannya, “pemerintah eksekutif dan legislatif telah menyepakati pilkada serentak untuk daerah-daerah yang akan habis masa jabatannya pada tahun 2015 dan semuanya diselenggarakan pada Desember 2015.” [4]Daftar wilayah yang akan menjalankan pilkada serentak yaitu: Lihat di http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/15/02/24/nk9bsp-ini-jadwal-lengkap-pilkada-2015 jadi dapat dikatakan bahwa pilkada serentak dilaksanakan untuk kepala daerah yang sudah habis masa jabatannya.
Terdapat dua paradigma yang telah dipaparkan diatas, lalu bagaimanakah penerapannya? Berikut ini penerapan dua paradigma dalam undang-undang diatas sebagai berikut.
a.         Dalam pasal 1 UU No. 8 Th. 2015 secara garis besar menerapkan paradigma pertama yaitu, hukum melayani kebutuhan masyarakat, agar suapaya hukum itu tidak akan menjadi ketinggalan oleh karena lajunya perkembangan masyarakat. Namun ada beberapa poin dari pasal 1 yang menggunakan paradigma kedua ( hukum dapat menciptakan perubahan sosial dalam masyarakat atau setidak-tidaknya dapat memacu perubahan-perubahan yang berlangsung dalam masyarakat), seperti poin ke 3 dan 4
b.   Dalam pasal 3 UU No. 8 Th. 2015 menerapkan paradigma kedua yaitu, hukum dapat menciptakan perubahan sosial dalam masyarakat atau setidak-tidaknya dapat memacu perubahan-perubahan yang berlangsung dalam masyarakat, yang salah satu ciri dari paradigma ini adalah hukum sebagai alat merekayasa masyarakat. Misal dalam pasal 3 dinyatakan bahwa akan dilaksanakan pemilihan serentak setiap 5 tahun sekali, hal ini jika di sesuaikan dengan ciri-ciri daripada paradigma kedua, maka akan menimbulkan kontroversi dimana berbagai analis menyatakan bahwa pilkada serentak memiliki manfaat, diantaranya:
- Efisiensi anggaran
- Efektivitas lembaga pemilihan umum
- Sarana menggerakkan kader partai politik secara luas dan gencar.
- Mencegah kutu loncat (gagal di satu wilayah, menyeberang ke wilayah lain) 
- Perencanaan pembangunan lebih sinergi antara pemerintah DATI II, DATI I, dan pemerintah pusat.[5]
b.      Dalam pasal 5 UU No. 8 Th. 2015 menerapkan paradigma pertama yaitu, hukum melayani kebutuhan masyarakat, agar suapaya hukum itu tidak akan menjadi ketinggalan oleh karena lajunya perkembangan masyarakat, karena dalam poin-poin pasal 5 secara keseluruhan mengarah kepada ciri-ciri pardigma pertama dimana perubahan cenderung diikuti system lain karena dalam kondisi ketergantungan, hukum selalu menyesuaikan diri dengan perubahan sosial, hukum sebagai fungsi pengabdian, dsb. Misal dalam pasal diatas telah disebutkan mengenai pemilihan yang diselenggarakan dalam  2 tahapan yakni tahapan persiapan dan tahapan penyelenggaraan (pasal 5) hal ini membuktikan bahwa hukum sebagai pelayan kebutuhan masyarakat sesuai dengan apa yang telah di paparkan diatas.