count on me

Tuesday, October 6, 2015

Lapisan Sosial Masyarakat

KASUS I

Kekerasan Seksual Anak: Waspada dan Hukuman Berat by TanyaDok.com Berita Terkini Belum lama ini terdengar kabar tentang kekerasan seksual terhadap anak berumur enam tahun. AK (6) merupakan korban kekerasan seksual yang dilakukan oleh petugas kebersihan sekolah di TK Jakarta Internasional School (JIS) di Pondok Indah, Jakarta Selatan. Ibunda AK, Th, melaporkan kejadian ini ke Mapolda Metro Jaya. Menurutnya, berdasarkan pengakuan anaknya, kejadian ini terjadi di toilet sekolahnya dan dilakukan oleh lebih dari satu orang dan beberapa kali. Ada petugas kebersihan yang berjaga di sana yang menunggu kedatangan AK. Petugas itu kemudian menyekap AK dan melakukan tindakan asusila kepada bocah malang tersebut. Th mengaku sudah curiga ada hal yang tidak beres terjadi pada anaknya karena beberapa kali melihat anaknya sengaja buang air kecil di rumah sebelum berangkat sekolah. Selain itu, kadang AK menekan penisnya secara sengaja untuk mengeluarkan kencing karena takut kencing di sekolah. 20 Maret 2014, Th melihat bekas luka di tubuh AK dan AK menceritakan bahwa ada yang berbuat jahat kepadanya di toilet sekolah. Mendapatkan keterangan tersebut, Th melaporkan kejadian ini kepada Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polda Metro Jaya. Sampai saat ini, Agun dan kawannya Firziawan ditetapkan sebagai tersangka. Mereka diduga melakukan perbuatan asusila terhadap AK di toilet sekolah tersebut pada Maret 2014 silam, bersama dua orang lainnya. Arist Merdeka Sirait selaku Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) mengatakan, pihak JIS harus bertanggung jawab atas kasus tersebut meskipun melibatkan pekerjanya yang berstatus pekerja alih daya. “Mau tidak mau, JIS harus tanggung jawab secara perdata dan pidana karena itu terjadi di lingkungan sekolah dan dilakukan oleh pekerja JIS,” ujar Arist. Orang tua harus selalu waspada Menanggapi kasus kekerasan seksual di atas, tim TanyaDok melakukan wawancara seorang dokter spesialis anak, dr. Ariani Dewi Widodo, SpA, salah satu dokter spesialis anak yang aktif dalam komunitas dokter TanyaDok. Komentar pertama dokter spesialis lulusan FKUI ini saat diwawancara adalah “Kasus ini bukan lagi sekedar pelecehan seksual, tapi sudah kekerasan seksual!” Saat ditanyakan mengenai dampak peristiwa ini terhadap korban anak, ia menjelaskan, “Anak sangat mungkin untuk mengalami gangguan tumbuh kembang, terutama gangguan psikologis. Anak bisa mengalami mimpi buruk, gangguan tidur, gangguan makan, takut kepada orang lain atau tempat tertentu yang berasosiasi dengan kejadian, stres pascatrauma. Semua gejala ini sudah tampak pada korban seperti pemberitaan di media-media.” “Selain itu, dalam jangka panjang anak bisa menjadi orang yang menarik diri, depresi, cemas, rendah diri dan prestasi belajar menurun. Risiko anak untuk mengalami kepribadian multipel juga meningkat,” lanjutnya. Dokter spesialis anak yang juga mengelola klinik kesehatan anak di bilangan Tanjung Duren, Tania Kids Center, juga menuturkan bahwa anak dengan riwayat korban kekerasan seksual berisiko tinggi juga dengan penyalahgunaan obat, prostitusi dan perilaku yang senang menyakiti diri sendiri. Saat ditanyakan mengenai peran ibu atau orang tua dalam kejadian kekerasan seksuai ini, beliau mengatakan, “Orang tua dan keluarga harus mendampingi anak karena anak korban kekerasan seksual perlu dukungan penuh seluruh keluarga dan peer group karena kejadian demikian sangat traumatis. Konseling psikologis intensif diperlukan bersamaan dengan perhatian penuh. Anak juga harus diamankan dari orang-orang yang mungkin menyakitinya.” “Orang tua harus selalu memastikan keamanan anak. Pastikan anak selalu dititipkan pada orang yang dipercaya.” Beliau juga memberikan catatan khusus bahwa kekerasan seksual pada anak paling sering dilakukan oleh anggota keluarga atau orang yang dikenal oleh anak. “Orang tua harus waspada bila anak mengalami gejala ke arah penyakit akibat hubungan seksual misalnya, keputihan berulang, perdarahan anus, nyeri pada vagina atau anus, gangguan saat buang air kecil atau buang air besar yang tidak biasanya. Adanya cedera pada bagian payudara, bokong, perut bawah, paha, sekitar alat kelamin, anus juga bisa menjadi sebuah petanda kecurigaan adanya kekerasan seksual. Tanda lainnya adalah bila ada celana dalam yang robek atau berdarah.” Pencegahan kekerasan seksual yang terjadi pada anak melibatkan banyak faktor tapi salah satu cara pencegahan adalah dengan mengenalkan kepada anak sejak dini apa saja hal yang normal atau baik dilakukan orang lain (atau OK) atau yang tidak wajar bila dilakukan orang lain (atau not OK). Di akhir wawancara, beliau juga berpesan, “Orang tua harus selalu waspada karena seringkali pelakunya adalah orang dekat yang tidak disangka-sangka!” Hukuman berat untuk pelaku pedofilia homoseksual Di kesempatan lain, tim TanyaDok juga  melakukan wawancara singkat dengan dr. Dharmawan Purnama, SpKJ, dokter spesialis kedokteran jiwa yang tergabung dalam jaringan dokter TanyaDok. “Dampak peristiwa ini bagi si korban anak bisa meluas ke mana-mana, mulai dari perkembangan psikologis sampai menjadi psikopatologi yang bisa menjurus ke gangguan psikiatrik. Dampak ini bisa dialami sejak saat ini misalnya mimpi buruk dan takut ke toilet seperti pada pemberitaan-pemberitaan yang beredar. Mimpi buruk dan takut ke toilet ini bisa jadi merupakan manifestasi depresi atau PTSD (posttraumatic stress disorder)”, tutur dokter yang mengecam para pelaku kejahatan seksual ini. Menurut beliau, potensi terburuk gangguan psikiatrik yang bisa dialami oleh sang korban adalah “Korban bisa menjadi mengidap paranoia, yaitu orang yang paranoid, orang yang pencuriga dan ketakutan.” Kondisi gangguan psikologis ini menurut dokter spesialis yang juga direktur Smart Mind Center, bisa disembuhkan asal dilakukan intervensi pertolongan psikologis secepatnya. Intervensi ini bisa berupa psikoterapi, playterapi sampai psikofarmakoterapi jika diperlukan. Terkait pelaku kejahatan seksual ini, beliau mengatakan “Pelaku kejahatan ini tampaknya adalah seorang pedofilia homoseksual. Namun, hal ini jangan dijadikan alasan!” “Pelaku harus dihukum yang berat untuk efek jera karena pedofilia homoseksual ini bukan gangguan jiwa yang bebas dari hukuman! Masyarakat perlu dididik untuk mengendalikan diri agar tidak merampas hak orang lain dan dalam kasus ini, hak anak untuk tumbuh dan berkembang dalam lingkungan yang aman dan kondusif untuk masa depannya yang cerah”, tegasnya. Demikian ulasan khusus tim TanyaDok mengenai kasus kekerasan seksual pada anak yang saat ini marak dibicarakan di media-media. Semoga dengan ulasan ini, para Sobat TanyaDok khususnya para orang tua bisa lebih waspada dan menjadikan peristiwa ini sebuah pembelajaran karena anak adalah titipan Tuhan dan anugrah yang terindah dari-Nya.   Ditulis oleh Gloria Safira dan dr. Agnes Susanto (review medis)


Sumber: http://www.tanyadok.com/anak/mengatasi-kesulitan-belajar-pada-anak 

Kasus Kekerasan Seksual JIS Dinilai Bukti Pengaruh Opini Publik

Setelah pemeriksaan selama 10 jam, guru Jakarta International School (JIS) Neil Bantleman dan Ferdinant Tjiong resmi ditahan pada Senin 14 Juli 2014 kemarin. Penahanan itu terkait dugaan pelecehan seksual di terhadap anak di bawah umur.
Liputan6.com, Jakarta - Kasus dugaan kekerasan seksual anak di Jakarta International School (JIS), dinilai salah satu bukti opini publik berhasil merekayasa fakta peristiwa yang sesungguhnya terjadi. Penilaian ini menyusul vonis 2 guru JIS, Ferdinant Tjong dan Neil Bantleman, serta 5 pekerja kebersihan PT ISS dalam dugaan pelecehan seksual di JIS.

Guru Besar Fakultas Psikolog Universitas Atmadjaya Jakarta Irwanto menilai, kasus JIS sangat aneh jika dibandingkan kasus pelecehan seksual lain yang dampaknya jauh lebih besar. Publik dan aparat penegak hukum diarahkan untuk menghakimi JIS secara cepat dengan opini yang terstruktur dan massif.

"Opini publik yang begitu luar biasa menghakimi JIS ikut menentukan putusan di dalam ruang sidang. Semoga majelis banding tidak terpengaruh opini publik, tapi benar-benar mengungkap kebenaran yang sesungguhnya," ujar Irwanto, Senin (13/4/2015).

Menurut Irwanto, kondisi itu yang tidak disadari sebagian penegak hukum, di mana mereka malah ikut terjebak dalam pusaran dugaan rekayasa. Para penegak hukum sudah punya target, yakni segera menemukan pelakunya, lalu menghukum dan memenjarakan.

"Bukti-bukti yang digunakan untuk menjerat pekerja kebersihan ISS dan 2 guru JIS itu sangat lemah. Keterangan saksi korban yang masih di bawah 10 tahun harus diuji lagi. Anak itu harus didampingi psikolog dan hasilnya masih harus diuji lagi oleh seorang psikolog. Jadi, proses penyidikan dalam kasus ini yang demikian cepat menjadi tidak lazim dan sangat aneh," ucap Irwanto.

Irwanto menyebut, dengan melihat rekaman video saat rekonstruksi penyidik di JIS, saksi korban masih tetap bermain. Dia dengan ceria berlarian dan tidak terganggu saat polisi dan orangtuanya mencari lokasi kejadian. Hal ini menunjukkan anak itu tidak memiliki rasa trauma sama sekali, padahal ada kejadian yang dialaminya di sekolah itu.

"Saya sudah melihat rekaman videonya. Kalau anak korban kekerasan seksual berkali-kali akan sangat trauma, bila datang ke tempat dia disakiti," ucap dia. 

Irwanto menilai, digunakannya JIS sebagai panggung bagi pihak-pihak tertentu semakin terlihat, dengan adanya gugatan US$ 125 juta oleh ibu pelapor. Bahkan, si ibu sampai harus merevisi nilai gugatannya dari sebelumnya US$ 12,5 juta kepada JIS. 

Munculnya gugatan senilai triliunan rupiah yang hampir berbarengan dengan laporan kasus itu ke polisi, menurut Irwanto, menjadi bukti kuatnya unsur dugaan rekayasa dalam kasus JIS.

Rekayasa Sistematis

Tak cuma Irwanto, kekecewaan juga diungkapkan Koordinator Kontras Haris Azhar. Menurut dia, kepolisian telah menggunakan hukum untuk mengadudomba Kejaksaan Agung dan majelis hakim. Hal ini terbukti dari putusan hakim yang menggunakan seluruh materi BAP dalam memutuskan pidana kepada pekerja kebersihan ISS dan 2 guru JIS.

"Tuduhan kekerasan seksual terhadap 3 siswa JIS adalah sebuah rekayasa sistematis. Prosesnya yang begitu singkat dan informasi yang berubah-ubah menjadi bukti bahwa kasus ini murni kriminalisasi dengan motif utama materi," ujar Haris.

Menurut Haris, dari pantauan Kontras, persidangan terhadap pekerja kebersihan ISS dan 2 guru JIS hanya menguatkan cerita dalam BAP. Sementara fakta-fakta lain dari saksi dan ahli selalu diabaikan. Bahkan, munculnya fakta media yang mengungkap tidak adanya kekerasan seksual terhadap salah satu korban juga diabaikan.

Pada Kamis 2 April 2015, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang diketuai Nuraslam Bustaman, dengan anggota Achmad Rivai dan Baktar Jubri Nasution menjatuhkan vonis bersalah kepada 2 terdakwa kasus ini yang merupakan guru JIS, Ferdinant Tjong dan Neil Bantleman. Keduanya dihukum pidana penjara selama 10 tahun dan membayar denda Rp 100 juta subsider 6 bulan kurungan.

Sementara 5 pekerja kebersihan PT ISS yang juga jadi terdakwa kasus kekerasan seksual JIS, divonis pidana 7 sampai 8 tahun penjara. Mereka adalah Agun Iskandar, Zainal Abidin, Syahrial, Afriska, dan Virgiaman Amin. Orang-orang miskin ini juga diwajibkan membayar ganti rugi sebesar Rp 100 juta subsider 6 bulan kurungan. (Rmn)


Kamis, 20 Agustus 2015
MA Tolak Kasasi Petugas Kebersihan JIS
Kuasa hukum petugas kebersihan JIS ini berencana akan mengajukan PK.
Petugas kebersihan JIS saat menjalani sidang di PN Jaksel. Foto: RES
Upaya lima petugas kebersihan Sekolah TK di Jakarta International School (JIS) agar mendapatkan keringanan hukuman kandas di Mahkamah Agung (MA). Upaya hukum lima terpidana petugas kebersihan JIS ditolak majelis hakim kasasi MA, seperti dikutip laman resmi MA.  
 
“Tolak,” demikian bunyi petikan putusan dengan nomor perkara No. 1511/PID.SUS/2015 atas nama terdakwa Syahrial bin Nasrul Jaya, seperti dikutip dari website MA, Kamis (20/8). Putusan tingkat kasasi ini ditangani majelis hakim yang diketuai Salman Luthan beranggotakan Sumardijatmo dan Margono. Perkara ini diputus pada 28 Juli 2015 lalu.
 
Permohonan kasasi empat terdakwa lainnya juga ditolak MA dengan majelis hakim dan tanggal putusan yang sama. Mereka adalah Virgiawan Amin berdasarkan petikan putusan kasasi No. 1512 K/PID.SUS/2015, Afrischa Setyani 1513 K/PID.SUS/2015, Agun Iskandar petikan putusan kasasi No. 1515 K/PID.SUS/2015, dan Zainal Abidin petikan putusan No. 1517 K/PID.SUS/2015.
 
Salah satu kuasa hukum petugas kebersihan JIS, Saut Raja keberatan dengan vonis kasasi dari MA ini. “Kami keberatan, tetapi kami belum bisa berkomentar apa-apa karena putusannya belum kami terima,” ujar Saut Raja, saat dihubungi wartawan.
 
Meski begitu, dia menegaskan pihaknya berencana akan mengajukan upaya peninjauan kembali (PK) agar bisa mengoreksi vonis penjara sebelumnya. “Kami pasti akan ajukan PK,” tegasnya.
 
Sebelumnya, pada 22 Desember 2014 lalu, Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) menjatuhkan vonis 8 tahun penjara dan denda Rp100 juta terhadap Syahrial, Virgiawan, Zainal, dan Agun dalam kasus kekerasan (pelecehan) seksual terhadap murid TK berinisial M (7 tahun) di JIS. Sedangkan, dalam susunan majelis yang berbeda, terdakwa lain Afrisca divonis 7 tahun penjara dengan denda Rp 100 juta subsider tiga bulan penjara.
 
Majelis menganggap kelima terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak kekerasan dan berbuat cabul terhadap anak. Mereka dianggap terbukti melanggar Pasal 82UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak juncto Pasal 55 ayat (1) KUHP tentang turut serta melakukan perbuatan kekerasan cabul. Lalu, putusan ini dikuatkan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta hingga akhirnya diajukan kasasi ke MA.

Nasib lima petugas kebersihan ini bertolak belakang dengan dua guru JIS yang juga tersangkut kasus serupa. Permohonan pengajuan banding Neil Bantleman dan Ferdinant Tjiong justru dikabulkan Majelis Hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta pada diputus pada 10 Agustus lalu. Keduanya, dinyatakan bebas karena tidak terbukti melakukan pelecehan seksual terhadap murid TK JIS.
 
Padahal, pada 3 April lalu, Majelis Hakim PN Jakarta Selatan menjatuhkan hukuman 10 penjara dan denda Rp100 juta subsider 6 bulan kurungan kepada kedua mantan guru JIS itu dalam perkara terpisah. Keduanya, dinilai terbukti melanggar Pasal 82 UU Perlindungan Anak juncto Pasal 65 ayat (1) KUHP lantaran terbukti melakukan tidak pidana kekerasan seksual terhadap muridnya.


KASUS II

KPAI Minta Bocah yang Dianiaya Bapak Kandung Dirawat Ibunya

Liputan6.com, Jakarta - Sudah 3 hari ini meja dan bangku Angga Septian di Kelas 5 B SDN 03 Kalibaru, Cilincing, Jakarta Utara kosong. Angga tidak bisa masuk sekolah sejak menjadi korban kekerasan dan penganiayaan oleh ayah kandungnya sendiri.

Seperti ditayangkan Liputan 6 Petang SCTV, Rabu (27/8/2014), bocah berusia 11 tahun itu kini masih mendapat perawatan intensif di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Koja, Jakarta Utara akibat sejumlah luka di wajah dan kepalanya.

Di mata teman sekelas dan guru, Angga dikenal sebagai anak yang baik. Kekerasan fisik yang kerap diterima Angga dari sang ayah diduga turut membentuk perilaku siswa kelas 5 itu. Sejumlah guru dan teman-temannya di sekolah berdoa untuk kesembuhan Angga.

Sementara, siang tadi Sekjen Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Erlinda juga menjenguk Angga di RSUD Koja. Erlinda meminta agar Angga dirawat dan tinggal bersama ibu kandungnya.

"Kita (KPAI) minta ibu kandungnya bertanggung jawab. Namun kita tetap akan melakukan konseling. Kita juga akan melakukan pendampingan. Kita akan turun langsung melihat bagaimana ibu ini bertanggung jawab" kata Erlinda.

Sementara itu, Septiani ibu kandung Angga menyanggupi untuk mengasuh putra sulungnya itu. Ia juga mengaku, sebelum pindah rumah Angga juga tinggal bersamanya.

"Dulu sebelum sama bapaknya juga diasuh sama saya. Setelah saya pindah rumah sudah setahun ini dia nggak sama saya. Cuma sekarang sering dititipkan ke saya, terus dijemput lagi. " kata Septiani. 

Septiani juga mengatakan, ia ingin Angga tinggal bersamanya saja. Namun mantan suaminya yang kini menjadi tersangka penganiayaan anaknya menolak permintaan tersebut.

"Saya sudah bilang, nggak usah dijemput-jemput. Biar sama saya saja. Tapi dia bilang, jangan buat nemenin saya. Saya nggak ada temannya" imbuh Septiani.

Angga dianiaya ayah kandungnya Minggu 24 Agustus malam lalu. Selain mendapatkan perlakuan kasar, bocah 11 tahun itu juga diborgol agar tidak kabur dari rumah. Namun ia berhasil menyelamatkan diri dan ditolong warga saat kondisi rumah tengah sepi.

Kini sang ayah berinisial N telah ditetapkan sebagai tersangka dan menjalani pemeriksaan intensif di Polres Metro Jakarta Utara. Atas tindakannya tersebut, N akan dijerat pasal 44 Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga dengan ancaman hukuman di atas 5 tahun penjara.


Berikut tabel dari kasus I dan kasus II
Kasus
Jenis Pidana
Korban
Jumlah Kerugian
Perlakuan Aparat (polisi,jaksa, dan hakim)
Fasilitas yang Diterima
Nama
Jumlah
Materiil
Immateriil
(I)Melibatkan terdakwa yang berada di lapisan masyarakat yang berbeda
(lapisan sosial bawah dan atas)
Kekerasan seksual anak
AK (nama disamarkan)
1 orang (yang diketahui)
-
Anak sangat mungkin untuk mengalami gangguan tumbuh kembang, terutama gangguan psikologis. Anak bisa mengalami mimpi buruk, gangguan tidur, gangguan makan, takut kepada orang lain atau tempat tertentu yang berasosiasi dengan kejadian, stres pascatrauma
Selain itu, dalam jangka panjang anak bisa menjadi orang yang menarik diri, depresi, cemas, rendah diri dan prestasi belajar menurun

Di vonis penjara 7 sampai 8 tahun (bagi 5 petugas kebersihan JIS yang menjadi terdakwa)

Dibebaskan dari hukuman (bagi 2 guru JIS yang menjadi terdakwa)
-
(II)Melibatkan terdakwa dari lapisan sosial bawah
Penganiayaan
Angga Septian
1
-
Penyakit fisik, kecacatan hingga kematian, depresi, fobia, insomnia, keterlambatan psikomotor & intelektual, kesulitan belajar, perilaku agresif
Dijerat pasal 44 Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga dengan ancaman hukuman di atas 5 tahun penjara.

-

ANALISIS SOSIOLOGIS

Pelapisan sosial atau stratifikasi sosial (social stratification) adalah pembedaan atau pengelompokan para anggota masyarakat secara vertikal (bertingkat).
kuran atau kriteria yang menonjol atau dominan sebagai dasar pembentukan pelapisan sosial adalah sebagai berikut.
Ukuran kekayaan
Kekayaan (materi atau kebendaan) dapat dijadikan ukuran penempatan anggota masyarakat ke dalam lapisan-lapisan sosial yang ada, barang siapa memiliki kekayaan paling banyak mana ia akan termasuk lapisan teratas dalam sistem pelapisan sosial, demikian pula sebaliknya, yang tidak mempunyai kekayaan akan digolongkan ke dalam lapisan yang rendah. Kekayaan tersebut dapat dilihat antara lain pada bentuk tempat tinggal, benda-benda tersier yang dimilikinya, cara berpakaiannya, maupun kebiasaannya dalam berbelanja,serta kemampuannya dalam berbagi kepada sesama
Ukuran kekuasaan dan wewenang
Seseorang yang mempunyai kekuasaan atau wewenang paling besar akan menempati lapisan teratas dalam sistem pelapisan sosial dalam masyarakat yang bersangkutan. Ukuran kekuasaan sering tidak lepas dari ukuran kekayaan, sebab orang yangkaya dalam masyarakat biasanya dapat menguasai orang-orang lain yang tidak kaya, atau sebaliknya, kekuasaan dan wewenang dapat mendatangkan kekayaan.
Ukuran kehormatan
Ukuran kehormatan dapat terlepas dari ukuran-ukuran kekayaan atau kekuasaan. Orang-orang yang disegani atau dihormati akan menempati lapisan atas dari sistem pelapisan sosial masyarakatnya. Ukuran kehormatan ini sangat terasa padamasyarakat tradisional, biasanya mereka sangat menghormati orang-orang yang banyak jasanya kepada masyarakat, para orang tua ataupun orang-orang yang berprilaku dan berbudi luhur.
Ukuran ilmu pengetahuan
Ukuran ilmu pengetahuan sering dipakai oleh anggota-anggota masyarakat yang menghargai ilmu pengetahuan. Seseorang yang paling menguasai ilmu pengetahuan akan menempati lapisan tinggi dalam sistem pelapisan sosial masyarakat yang bersangkutan. Penguasaan ilmu pengetahuan ini biasanya terdapat dalam gelar-gelar akademik (kesarjanaan), atau profesi yang disandang oleh seseorang, misalnya dokter, insinyur, doktorandus, doktor ataupun gelar profesional seperti profesor. Namun sering timbul akibat-akibat negatif dari kondisi ini jika gelar-gelar yang disandang tersebut lebih dinilai tinggi daripada ilmu yang dikuasainya, sehingga banyak orang yang berusaha dengan cara-cara yang tidak benar untuk memperoleh gelar kesarjanaan, misalnya dengan membeli skripsi, menyuap, ijazah palsu dan seterusnya.
sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/Stratifikasi_sosial


Dari paparan kedua kasus diatas, kasus I melibatkan 5 orang petugas kebersihan (lapisan bawah) serta 2 orang guru (lapisan atas) sebagai terdakwa. Sedangkan kasus II melibatkan seorang ayah (lapisan bawah) sebagai terdakwa. Di lihat dari kasus I sudah nampak keterpihakan hukum terhadap orang yang berada di lapisan atas bahwa mereka dibebaskan dari jeratan hukum padahal pada awalnya mereka di kenakan hukuman atas kasus tersebut. Sedangkan 5 orang tersangka dari lapisan bawah tetap di kenakan hukuman penjara 7 sampai 8 tahun penjara. Nasib serupa juga dialami seorang ayah (berada di lapisan bawah), bahwa ia dijerat pasal 44 Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga dengan ancaman hukuman di atas 5 tahun penjara.
Dari kedua kasus diatas dapat dilihat bahwa ada perbedaan antara lapisan atas dan lapisan bawah perihal penentuan hukum.(yl)