count on me

Tuesday, December 22, 2015

Secuil Kisah Seorang Waria

Dalam sebuah perjalanan saya bersama ke-5 teman saya yakni Zulfa Zumrotun, Zulfatun Ulaini, Rohmatul Umah, Wike Lusiana, dan Stipan Bhakti, melakukan sebuah wawancara dengan seorang waria. Kami sebelumnya  sudah melakukan janjian di Blitar tepat dirumah seorang waria tersebut untuk wawancara kali  ini. Kami bertamu ke rumahnya malam hari sekitar pukul 20.00 WIB karena perjalanan kami di mulai dari Tulungagung. Awalnya, kami merasa takut dan gugup ketika akan bertemu dengan waria tersebut namun pada akhirnya saat bertemu perasaan ataupun pikiran negatif hilang seketika. Semua itu karena waria yang kami temui welcome pada kami. Dia orang yang baik, humoris, serta enak diajak bicara.
“Aku ini orang baik-baik nggak suka keluar malam, jadi nanti tulisanmu akan cacat (kurang) kalau kalian wawancara saya”, kata waria itu sebelum kami membuka pertanyaan. Kami memahami kemungkinan besar yang ada dalam benak waria itu bahwa kami ingin mencari informasi tentang stigma waria, seperti kehidupan malamnya atau perilaku menyimpang yang tidak sesuai dengan norma-norma yang berlaku.
Waria itu bernama Nadya (nama populernya). Ia masih seumuran dengan kami, tepat pada 22 September 19 tahun yang lalu. Ia sekarang menetap di Desa Bedali, Kabupaten Blitar. Ia tinggal bersama kedua orang tuanya, dia anak tunggal. Ia pernah menempuh pendidikan di SD, SMP, dan putus sekolah sejak kelas 2 SMK Jurusan TKJ. Dalam perjalanan hidupnya ia memang sudah tertarik dengan kehidupan menjadi seorang perempuan sejak kelas 5 SD dengan ia memakai bedak, lipstik, dan baju ketat. Lalu hal itu berlanjut di SMP dengan ia banyak bergaul dengan perempuan, setelah itu di SMK Jurusan TKJ. Awalnya, Nadya ini tidak tertarik dengan jurusan TKJ (Teknik Komputer Jaringan) dan ingin mengambil jurusan kecantikan. Namun harapannya sirna ketika biaya masuk jurusan kecantikan cukup mahal dan mengingat dirinya dari keluarga yang kurang mampu (untuk membiayai masuk SMK orang tuanya harus hutang di bank).
Dengan berjalannya waktu, ia akhirnya masuk di SMK Jurusan TKJ. Ketidaktertarikannya terhadap jurusan tersebut membuat dirinya tidak serius menempuh pendidikan. Sehari-hari ia hanya memperhatikan fashion-nya saja. Pernah suatu ketika ia mengahadap kepala sekolah dan meminta izin untuk memakai rok saat sekolah, namun hasilnya nihil, kepala sekolah tidak mengizinkan. Sebenarnya, waria ini tergolong siswa berprestasi, yakni dalam hal kesenian seperti bernyanyi dan menari. Ia juga sering memenangkan perlombaan dalam bidang tersebut. Ia memutuskan untuk putus sekolah dengan alasan tidak adanya biaya, tapi sebenarnya ada hal lain di balik itu, yakni wakil kepala sekolah yang paling utama yang tidak mengharapkan keberadaannya di sekolah tersebut yang menganggap kehadirannya akan membuat malu sekolah. Meski ada sebagian guru-guru menginginkan ia untuk tetap tinggal karena prestasinya dalam bidang kesenian. Saat kami menanyakan perihal beasiswa, ya ia pernah mendaftar sebanyak dua kali dan hasilnya nihil, entah apa yang terjadi tapi menurutnya ia tidak mendapatkan beasiswa karena setiap hari ia selalu berpakaian rapi meski ia dari orang yang tidak punya sedangkan teman-temannya yang mendapat beasiswa, mereka selalu berpakaian korak atau tidak rapi padahal mereka dari orang yang punya bahkan orang tuannya kaya. Lalu ia menyimpulkan bahwa orang yang kesehariannya berpenampilan rapi itu dipandang orang kaya sedangkan orang yang berpenampilan tidak rapi dianggap orang miskin.
Setelah ia memutuskan untuk tidak melanjutkan pendidikan, ia memutuskan untuk bekerja. Ia bekerja mulai dari pelayan sampai jadi penyanyi. Ia bisa bekerja menjadi pelayan tanpa menggunakan identitas karena kebetulan diajak teman, selain itu juga yang terpenting adalah penampilan begitu menurutnya. Saat bekerja menjadi pelayan di sebuah rumah makan sekitar 4 bulan ia pernah mendapat perlakuan tidak baik terhadap gaji yang di terimanya. Ia bekerja 24 jam non-stop, 24 jam di hitung gaji 24 ribu, jadi selama satu bulan seharusnya ia mendapat gaji sekitar Rp 700.000,- tapi pada kenyataannya ia hanya di beri gaji sekitar 100 ribu – 150 ribu. Saat menjadi seorang penyanyi, pernah ada seseorang yang setelah mengetahui dirinya bukanlah perempuan melainkan seorang waria, orang itu secara tiba-tiba membatalkan job-nya secara sepihak.  Keseharian yang ia jalani saat ini ialah menunggu panggilan untuk nyanyi & nyalon. Ia mempergunakan uangnya tersebut untuk modal usaha membuka salon.
“Menjadi waria bukanlah pilihan, bukanlah kemauan, bukanlah cita-cita, bukan juga keinginan orang tua”, ujar Nadya. Menurutnya waria itu jiwanya terjebak dalam tubuh yang salah. Saat ini Nadya sudah memiliki kekasih (seorang laki-laki yang saat ini berada di daerah Jawa Tengah) dan kekasihnya tersebut sudah mengetahui dirinya yang sebenarnya. Mereka bercita-cita untuk menikah, namun dengan keadaannya yang saat ini membuat dirinya bimbang apakah mungkin?. Menurutnya, Indonesia itu negara hukum namun dalam prakteknya semisal untuk melakukan pernikahan atas dirinya hanya bisa dilakukan pernikahan siri, tidak ada surat nikah yang ada hanya surat perjanjian. Dan itupun harus sembunyi-sembunyi tanpa ada orang yang tahu. Ia mengatakan bahwa jika ada orang yang mengetahui status hubungan maupun identitasnya, jika masyarakat sekitarnya pengertian maka hal itu akan baik-baik saja, namun sebaliknya jika masyarakat sekitar tidak pengertian ia bisa di penjarakan jika ia tidak punya uang tutup mulut.
Ia berharap bisa mengganti namanya meski tidak bisa mengganti kelamin, karena menurutnya operasi kelamin tidak semudah yang di bayangkan karena pada akhirnya yang bisa menentukan status perubahan alat kelamin ialah MUI. Jika MUI mengetok palu sah disetujui maka ia bisa menjadi perempuan begitu pula sebaliknya. Ia juga berharap untuk bisa menikah dengan seorang laki-laki karena menurutnya jika ia menikah dengan perempuan itu mustahil karena menganggap dirinya sama dengan perempuan jika menikah dengan perempuan sama saja menikah dengan satu darah atau tidak akan cocok. Untuk masalah keturunan ia  bercita-cita untuk mengadopsi anak.
Dari pengalaman seorang waria yang telah saya paparkan, saya menyimpulkan bahwa waria tergolong orang yang termarjinalkan dalam hal keberadaannya. Orang lain sering melihat sebelah mata orang-orang yang seperti itu, orang lain hanya bisa meremehkan, melontarkan kalimat bisa apa kamu?,  mau jadi apa kamu seperti ini?, atau sikap orang pemilik rumah makan yang cenderung tidak memanusiakan manusia karena anak buahnya adalah seorang waria seperti contoh diatas, dsb. Bahkan ada yang mengambil keuntungan dari keberadaan seorang waria tersebut semisal waria menikah dengan laki-laki, agar keduanya bisa hidup tenang mereka harus rela mengeluarkan uang tutup mulut bagi orang-orang yang mengambil keuntungan tersebut.
Hukum di Indonesia memang belum berpihak kepada waria, tapi setidaknya perilaku masyarakat untuk berpikiran positif terhadap waria itu haruslah di tumbuhkan agar tidak banyak kasus-kasus waria yang meresahkan masyarakat. Tidak seharusnya masyarakat memberikan stigma-stigma terhadap waria karena hal itu bisa membuat waria-waria yang dalam tanda kutip baik menjadi berubah mengikuti stigma masyarakat yang di berikan kepada waria secara umum. Hargailah waria sebagaimana menghargai manusia pada umumnya.(ylo)