Dalam
sebuah perjalanan saya bersama ke-5 teman saya yakni Zulfa Zumrotun, Zulfatun
Ulaini, Rohmatul Umah, Wike Lusiana, dan Stipan Bhakti, melakukan sebuah
wawancara dengan seorang waria. Kami sebelumnya sudah melakukan janjian di Blitar tepat
dirumah seorang waria tersebut untuk wawancara kali ini. Kami bertamu ke rumahnya malam hari
sekitar pukul 20.00 WIB karena perjalanan kami di mulai dari Tulungagung.
Awalnya, kami merasa takut dan gugup ketika akan bertemu dengan waria tersebut
namun pada akhirnya saat bertemu perasaan ataupun pikiran negatif hilang
seketika. Semua itu karena waria yang kami temui welcome pada kami. Dia orang
yang baik, humoris, serta enak diajak bicara.
“Aku
ini orang baik-baik nggak suka keluar malam, jadi nanti tulisanmu akan
cacat (kurang) kalau kalian wawancara saya”, kata waria itu sebelum kami
membuka pertanyaan. Kami memahami kemungkinan besar yang ada dalam benak waria
itu bahwa kami ingin mencari informasi tentang stigma waria, seperti kehidupan
malamnya atau perilaku menyimpang yang tidak sesuai dengan norma-norma yang
berlaku.
Waria
itu bernama Nadya (nama populernya). Ia masih seumuran dengan kami, tepat pada
22 September 19 tahun yang lalu. Ia sekarang menetap di Desa Bedali, Kabupaten Blitar.
Ia tinggal bersama kedua orang tuanya, dia anak tunggal. Ia pernah menempuh
pendidikan di SD, SMP, dan putus sekolah sejak kelas 2 SMK Jurusan TKJ. Dalam perjalanan
hidupnya ia memang sudah tertarik dengan kehidupan menjadi seorang perempuan
sejak kelas 5 SD dengan ia memakai bedak, lipstik, dan baju ketat. Lalu hal itu
berlanjut di SMP dengan ia banyak bergaul dengan perempuan, setelah itu di SMK
Jurusan TKJ. Awalnya, Nadya ini tidak tertarik dengan jurusan TKJ (Teknik
Komputer Jaringan) dan ingin mengambil jurusan kecantikan. Namun harapannya
sirna ketika biaya masuk jurusan kecantikan cukup mahal dan mengingat dirinya
dari keluarga yang kurang mampu (untuk membiayai masuk SMK orang tuanya harus
hutang di bank).
Dengan
berjalannya waktu, ia akhirnya masuk di SMK Jurusan TKJ. Ketidaktertarikannya terhadap
jurusan tersebut membuat dirinya tidak serius menempuh pendidikan. Sehari-hari
ia hanya memperhatikan fashion-nya saja. Pernah suatu ketika ia
mengahadap kepala sekolah dan meminta izin untuk memakai rok saat sekolah,
namun hasilnya nihil, kepala sekolah tidak mengizinkan. Sebenarnya, waria ini
tergolong siswa berprestasi, yakni dalam hal kesenian seperti bernyanyi dan
menari. Ia juga sering memenangkan perlombaan dalam bidang tersebut. Ia memutuskan
untuk putus sekolah dengan alasan tidak adanya biaya, tapi sebenarnya ada hal
lain di balik itu, yakni wakil kepala sekolah yang paling utama yang tidak
mengharapkan keberadaannya di sekolah tersebut yang menganggap kehadirannya
akan membuat malu sekolah. Meski ada sebagian guru-guru menginginkan ia untuk
tetap tinggal karena prestasinya dalam bidang kesenian. Saat kami menanyakan
perihal beasiswa, ya ia pernah mendaftar sebanyak dua kali dan hasilnya nihil,
entah apa yang terjadi tapi menurutnya ia tidak mendapatkan beasiswa karena
setiap hari ia selalu berpakaian rapi meski ia dari orang yang tidak punya
sedangkan teman-temannya yang mendapat beasiswa, mereka selalu berpakaian korak
atau tidak rapi padahal mereka dari orang yang punya bahkan orang tuannya kaya.
Lalu ia menyimpulkan bahwa orang yang kesehariannya berpenampilan rapi itu
dipandang orang kaya sedangkan orang yang berpenampilan tidak rapi dianggap
orang miskin.
Setelah
ia memutuskan untuk tidak melanjutkan pendidikan, ia memutuskan untuk bekerja. Ia
bekerja mulai dari pelayan sampai jadi penyanyi. Ia bisa bekerja menjadi
pelayan tanpa menggunakan identitas karena kebetulan diajak teman, selain itu
juga yang terpenting adalah penampilan begitu menurutnya. Saat bekerja menjadi
pelayan di sebuah rumah makan sekitar 4 bulan ia pernah mendapat perlakuan
tidak baik terhadap gaji yang di terimanya. Ia bekerja 24 jam non-stop,
24 jam di hitung gaji 24 ribu, jadi selama satu bulan seharusnya ia mendapat
gaji sekitar Rp 700.000,- tapi pada kenyataannya ia hanya di beri gaji sekitar
100 ribu – 150 ribu. Saat menjadi seorang penyanyi, pernah ada seseorang yang
setelah mengetahui dirinya bukanlah perempuan melainkan seorang waria, orang
itu secara tiba-tiba membatalkan job-nya secara sepihak. Keseharian yang ia jalani saat ini ialah
menunggu panggilan untuk nyanyi & nyalon. Ia mempergunakan uangnya
tersebut untuk modal usaha membuka salon.
“Menjadi
waria bukanlah pilihan, bukanlah kemauan, bukanlah cita-cita, bukan juga keinginan
orang tua”, ujar Nadya. Menurutnya waria itu jiwanya terjebak dalam tubuh yang
salah. Saat ini Nadya sudah memiliki kekasih (seorang laki-laki yang saat ini
berada di daerah Jawa Tengah) dan kekasihnya tersebut sudah mengetahui dirinya
yang sebenarnya. Mereka bercita-cita untuk menikah, namun dengan keadaannya
yang saat ini membuat dirinya bimbang apakah mungkin?. Menurutnya, Indonesia
itu negara hukum namun dalam prakteknya semisal untuk melakukan pernikahan atas
dirinya hanya bisa dilakukan pernikahan siri, tidak ada surat nikah yang ada
hanya surat perjanjian. Dan itupun harus sembunyi-sembunyi tanpa ada orang yang
tahu. Ia mengatakan bahwa jika ada orang yang mengetahui status hubungan maupun
identitasnya, jika masyarakat sekitarnya pengertian maka hal itu akan baik-baik
saja, namun sebaliknya jika masyarakat sekitar tidak pengertian ia bisa di
penjarakan jika ia tidak punya uang tutup mulut.
Ia berharap
bisa mengganti namanya meski tidak bisa mengganti kelamin, karena menurutnya
operasi kelamin tidak semudah yang di bayangkan karena pada akhirnya yang bisa
menentukan status perubahan alat kelamin ialah MUI. Jika MUI mengetok palu sah
disetujui maka ia bisa menjadi perempuan begitu pula sebaliknya. Ia juga
berharap untuk bisa menikah dengan seorang laki-laki karena menurutnya jika ia
menikah dengan perempuan itu mustahil karena menganggap dirinya sama dengan
perempuan jika menikah dengan perempuan sama saja menikah dengan satu darah
atau tidak akan cocok. Untuk masalah keturunan ia bercita-cita untuk mengadopsi anak.
Dari
pengalaman seorang waria yang telah saya paparkan, saya menyimpulkan bahwa
waria tergolong orang yang termarjinalkan dalam hal keberadaannya. Orang lain
sering melihat sebelah mata orang-orang yang seperti itu, orang lain hanya bisa
meremehkan, melontarkan kalimat bisa apa kamu?, mau jadi apa kamu seperti ini?, atau sikap
orang pemilik rumah makan yang cenderung tidak memanusiakan manusia karena anak
buahnya adalah seorang waria seperti contoh diatas, dsb. Bahkan ada yang
mengambil keuntungan dari keberadaan seorang waria tersebut semisal waria
menikah dengan laki-laki, agar keduanya bisa hidup tenang mereka harus rela
mengeluarkan uang tutup mulut bagi orang-orang yang mengambil keuntungan
tersebut.
Hukum
di Indonesia memang belum berpihak kepada waria, tapi setidaknya perilaku
masyarakat untuk berpikiran positif terhadap waria itu haruslah di tumbuhkan
agar tidak banyak kasus-kasus waria yang meresahkan masyarakat. Tidak seharusnya
masyarakat memberikan stigma-stigma terhadap waria karena hal itu bisa membuat
waria-waria yang dalam tanda kutip baik menjadi berubah mengikuti stigma
masyarakat yang di berikan kepada waria secara umum. Hargailah waria
sebagaimana menghargai manusia pada umumnya.(ylo)