count on me

Friday, September 18, 2015

Revisi Tugas Artikel


SOLIDARITAS DAN HUKUM

Dari sudut sejarah, Sosiologi Hukum untuk pertama kalinya diperkenalkan oleh seorang Itali yang bernama Anzilotti, pada tahun 1882. Sosiologi hukum pada hakekatnya lahir dai hasil-hasil pemikiran para ahli, baik di filsafat hukum, ilmu maupun sosiologi. Hasil-hasil pemikiran tersebut tidak saja berasal dari individu-individu tetapi mungkin juga berasal dari mazhab-mazhab atau aliran-aliran yang mewakili sekelompok ahli pemikir, yang secara garis besar mempunyai pendapat yang berbeda.[1]
Sosiologi hukum saat ini sedang berkembang pesat. Ilmu ini diarahkan untuk menjelaskan hukum positif yang berlaku (artinya isi dan bentuknya yang berubah-ubah menurut waktu dan tempat), dengan bantuan factor-faktor kemasyarakatan.[2]
Emile Durkheim merupakan ilmuwan sosiolog dari Prancis. Ia lahir tahun 1858 dan meninggal tahun 1917. Emile Durkheim merupakan ilmuwan sosial yang membuat suatu pengamatan dan merumuskan menjadi pengetahuan. Ia mengatakan bahwa hukum adalah cerminan solidaritas sosial (dalam Zulfatun Nikmah, 2012:35). Di dalam teori-teorinya tentang masyarakat, Durkheim menaruh perhatian besar pada kaidah-kaidah hukum yang dihubungkan dengan jenis-jenis solidaritas yang di jumpai dalam masyarakat.
Solidaritas di kemukakan oleh Emile Durkheim yang di kutip oleh Robbert M.Z Lawang (1985:63) bahwa solidaritas sosial adalah keadaan saling percaya antar anggota kelompok atau komunitas. Jika  orang saling percaya mereka akan menjadi satu atau menjadi sahabat, menjadi saling menghormati, menjadi saling bertanggung jawab untuk saling membantu dalam memenuhi kebutuhan antar sesama.[3]
Kemudian Durkheim, membagi solidaritas menjadi dua yaitu solidaritas organik dan solidaritas mekanik, yang dimaksud dengan solidaritas organik adalah solidaritas yang didasarkan atas perbedaan-perbedaan, solidaritas ini muncul akibat timbulnya pembagian kerja yang makin besar, solidaritas ini didasarkan atas tingkat ketergantungan yang sangat tinggi. Sedangkan yang dimaksud dengan solidaritas mekanik adalah bahwa solidaritas ini didasarkan pada tingkat homogenitas yang tinggi dalam kepercayaan, sentiment dan sebagainya.[4] 
Dalam masyarakat modern menurut Emile Durkheim, pembagian kerja yang sangta kompleks menghasilkan solidaritas organik. Spesialisasi yang berbeda-beda dalam bidang pekerjaan dan peranan sosial menciptakan ketergantungan yang mengikat orang kepada sesamanya, karena mereka tidak lagi dapat memenuhi seluruh kebutuhan mereka sendiri. Dalam masyarakat yang mekanis, misalnya, petani gurem hidup dalam masyarakat yang swa-sembada dan terjalin bersama oleh warisan bersama dan pekerjaan yang sama. Dalam masyarkat modern yang organik, para pekerja memperoleh gaji dan harus mengandalkan orang lain yang mengkhususkan diri dalam produk-produk tertentu (bahan makanan, pakaian, dll) untuk memenuhi kebutuhan mereka. Akibat dari pembagian kerja yang semakin rumit ini, demikian Durkheim, menyatakan bahwa kesadaran individual berkembang dalam cara yang berbeda dari kesadaran kolektif-seringkali malah berbenturan dengan kesadaran kolektif. [5] 
Durkheim menghubungkan jenis solidaritas pada suatu masyarakat tertentu dengan dominasi dari suatu sistem hukum. Ia menemukan bahwa masyarakat yang memiliki solidaritas mekanis hukum sering kali bersifat represif yaitu pelaku suatu kejahatan atau perilaku menyimpang akan terkena hukuman, dan hal itu akan membalas kesadaran kolektif yang dilanggar oleh kejahatan itu, hukuman itu bertindak lebih untuk mempertahankan keutuhan kesadaran. sebaliknya, dalam masyarakat yang memiliki solidaritas organik, hukum bersifat restitutif yakni bertujuan bukan untuk menghukum melainkan memulihkan aktivitas normal dari suatu masyarakat yang kompleks. [6] 
Jadi, perubahan masyarakat yang cepat karena semakin meningkatnya pembagian kerja menghasilkan suatu kebingungan tentang norma dan semakin meningkatya sifat yang tidak pribadi dalam kehidupan sosial, yang akhirnya mengakibatkan runtuhnya norma-norma sosialyang mengatur perilaku. Durkheim menamai keadaan ini anomie. dari keadaan anomie muncullah segala bentuk perilaku menyimpang, dan yang paling menonjol adalah bunuh diri. [7] 

Contoh Kasus
Tak dapat menahan hasrat seorang perangkat desa lebih tepatnya Kepala Dusun Sumbergondo, Desa Tulungrejo, Gandusari, Blitar tega meniduri (menyetubuhi) anak gadisnya sendiri yang saat ini berumur 18 tahun. Kejadian itu sudah terjadi sejak sang pelaku di tinggal istrinya yang bekerja ke luar negri selama 4 tahun. Tindakan yang dilakukan Kepala Dusun  tersebut di laporkan kepada pihak yang berwenang (polisi) oleh sanak saudarannya. Polisi melakukan penyelidikan dengan bukti-bukti berupa pesan singkat dan percakapan melalui ponsel, serta baju yang terakhir dipakai oleh korban.
Berita tentang kejadian tersebut telah menyebar luas sampai ke media sosial. Sebagian besar masyarakat yang mendengar tentang kasus tersebut merasa ikut prihatin terhadap nasib si gadis yang menjadi korban. Warga sekitar Dusun Sumbergondo dalam hal ini tidak ikut campur untuk mengadili tersangka karena kasus tersebut dianggap urusan pribadi dan sudah diserahkan kepada pihak kepolisian. Masyarakat menyayangkan kejadian ini terjadi kepada Kepala Dusunnya karena sosok pemimpin yang seharusnya bisa dijadikan contoh dalam berperilaku justru menyimpang dari aturan dan norma.

Kesimpulan
Dari contoh kasus diatas jika dikaitkan dengan teori Emile Durkheim yaitu teori solidaritas, maka dapat disimpulkan bahwa masyarakat di desa Tulungrejo pada dasarnya tergolong masyarakat organis meski berada di pedesaan. Hal ini dapat dilihat dari jenis pekerjaan yang sudah mulai beragam mulai dari petani, TKI, perangkat desa, dll. Hukum yang bersifat restitutif diberikan masyarakat kepada pelaku yang bertujuan bukan untuk menghukum melainkan untuk memulihkan aktivitas normal dari suatu masyarakat yang kompleks. Contoh kasus diatas menerangkan bahwa pada masyarakat pedesaan yang terkenal dengan masyarakat paguyuban tidak selamanya tergolong jenis solidaritas mekanis. Disini terlihat masyarakat pedesaan ingin berubah pandangan dari solidaritas mekanis menuju solidaritas organis. Masyarakat telah mempercayakan kepada Badan Penegak Hukum untuk mengurusi masalah-masalah pelanggaran maupun penyimpangan yang terjadi di wilayahnya.
Daftar Pustaka
related:repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/3831/BAB%20II.docx?sequence=2 solidaritas menurut para ahli, 17 September 2015


[1] Anwar, Yesmil & Adang, Pengantar Sosiologi Hukum, PT. Grasindo, Jakarta, 2008, hlm. 109
[2] Ibid.
[3] related:repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/3831/BAB%20II.docx?sequence=2 solidaritas menurut para ahli, 17 September 2015
[4] Ibid.
[6] Ibid.
[7] Ibid.



Wednesday, September 16, 2015

Tugas Artikel



Dalam masyarakat paguyuban, sebagian besar masyarakatnya memiliki pekerjaan yang sejenis. Mereka memiliki rasa solidaritas antar sesama dalam lingkup masyarakatnya. Seperti halnya  kasus di desa Tulungrejo yang melibatkan salah satu perangkat desa yang menjadi tersangka tindak asusila terhadap anak gadisnya sendiri. Dalam kasus ini masyarakat memang bukan sosok pahlawan yang melakukan penggrebekan di tempat perkara namun masyarakat ikut andil dalam menhakimi tersangka meski bukan dalam bentuk kekerasan.
Desa Tulungrejo, Gandusari, Blitar telah terjadi tindak asusila yang dilakukan oleh perangkat desa lebih tepatnya Kepala Dusun (Kamituo). Tindak asusila tersebut benar-benar membuat keluarga tersangka  merasa malu. Perlu diketahui bahwa tindak asusilanya ialah meniduri anak gadisnya sendiri selama 4 tahun. Hal itu terjadi sejak sang pelaku di tinggal istrinya bekerja ke luar negri. Kejadian tersebut di laporkan kepada pihak yang berwenang oleh keluarganya sendiri yang merasa tindakan yang dilakukan oleh tersangka sudah kelewatan. Bukti-bukti itu di dapat dari pesan singkat lewat ponsel milik korban.
Masyarakat yang mendengar tentang kasus tersebut merasa ikut prihatin terhadap nasib si gadis yang menjadi korban. Mereka beranggapan bahwa sosok kepala dusun yang seharusnya bisa dijadikan contoh dalam berperilaku justru menyimpang dari aturan dan norma.(ylo)


Saturday, September 12, 2015

Corat-coret

Menjadi seorang pemimpi itu pilihan... pilihan untuk merealisasikannya atau malah sebaliknya. Kehidupan itu akan terus berputar tak tahu sekarang kita berada di atas tapi sesekali kita di uji berada di bawah. Inilah hidup banyak orang ingin hidupnya terus mujur tapi terkadang Allah berkehendak lain. Siapa yang tahu hidup ini kemana arah yang ingin di tuju... seseorang hendak menyebrangi lautan dalam dengan berenang sedangkan yang lainnya terdiam menunggu sebuah kapal di pulau kecil nan terpencil.
Sangat sulit mengerti hidup maka dari itu hidup di jalani saja usahakan dan selalu pastikan tetap berada di jalan yang benar. Memang hidup itu penuh misteri yang kita sendiri pun yang menjalani terkadang tidak tahu. Jangan terlalu mengkhawatirkan kehidupan yang tidak mujur tapi khawatirlah pada diri sendiri yang tidak bisa membuat perubahan kearah yang lebih baik.

Aul dan Radd


BAB II
PEMBAHASAN

A.    ‘Aul
1.      Pengertian ‘Aul
Dari segi bahasa, Aul artiya naik atau bertambah. Sedangkan menurut ulama faradiyun, aul artinya bertambahnya jumlah bagian dzawi furud atau berkurangnya kadar penerimaan warisan.[1]
Dalam kitab Al-Mawarits di Syari’atil Islamiyyah. Hasanain Muhammad Makhluf mendefinisikan bahwa Aul dalam pembagian pusaka adalah adanya kelebihan dalam saham ahli waris dari besarnya asal masalah dan adanya penyusutan dalam kadar penerimaan mereka, dikarenakan asal masalahnya tidak cukup untuk memenuhi fard-fard dari ashabul furud.
Sehingga dapat didefinisikan bahwa Aul adalah keadaan berlebihnya jumlah penerimaan warisan para ahli waris terhadap angka asal masalah sehingga apabila dibagi-bagi dengan ahli waris lainnya tidak akan cukup untuk memenuhi bagian ahli waris dzawil furud.

2.      Cara Penyelesian Masalah ‘Aul
Ada tiga cara untuk menyelesaikan masalah Aul ini, yaitu:
a)      Membesarkan asal masalah sesuai dengan meningkatnya saham masing-masing dengan jalan:
Ø  Menetapkan Furudhul Muqaddarah (Bagian tertentu masing-masing) dan Asal masalahnya.
Ø  Mencari saham masing-masing dan memahjubkannya
b)      Mengurangi penerimaan masing-masing bagian yang telah ditetapkan sesuai bagian ahli waris.
c)      Membandingkan bagian masing-masing untuk mengetahui berapa harta tiap-tiap bagian.

3.      Cara Menghitung ‘Aul
Contoh 1: dimisalkan sebagaimana contoh berikut: Seseorang wafat mennggalkan harta senilai Rp. 42.000.000,-. Ahli waris terdiri dari suami dan 2 orang saudari sekandung. Menurut ketentuan, suami mendapat ½ pusaka, 2 saudari sekandung mendapat 2/3 pusaka, jika dipenuhi semua, suami mendapat ½ x Rp 42.000.000,- = Rp 21.000.000,-. Sedangkan, 2 saudari sekandung mendapat 2/3 x Rp 42.000.000,-  = Rp 28.000.000,-. Dengan demikian, terdapat kekurangan sebesar Rp 49.000.000,- Rp 42.000.000,- = Rp 7.000.000,-. Oleh karena harta pusaka yang dibagi hanya Rp 42.000.000,-, maka penerima masing-masing harus dikurangi nilai sahamnya secara seimbang.
a)      Menurut cara pertama, penyelesaian adalah sebagai berikut:
Ahli Waris
Bagian AM
Tashih
Suami
½ x 6
=3;
2 Saudari Kandung
2/3 x 6
=4;
Jumlah Saham

=7 (dijadikan AM)

Dengan diterapkannya 7 sebagai asal masalah baru setelah ditashihkan, maka besar setiap saham ialah Rp. 42.000.000,- : 7 = Rp. 6.000.000,-.
Dengan demikian suami mendapat 3 x Rp. 42.000.000 : 7= Rp.18.000.000,- dan 2 saudari sekandung mendapat 4 x Rp. 42.000.000,- : 7= Rp. 24.000.000,-.
Masing-masing saudari sekandung mendapat Rp 24.000.000,- :2=Rp 12.000.000,-.
b)      Menurut cara kedua
Pertama-tama bagian masing-masing ahli waris diperhitungkan berdasarkan asal masalah yang ada, sehingga dengan demikian:
Ø  Suami mendapat 3 x Rp 42.000.000,-  : 6     = Rp 21.000.000,-
Ø  Saudari mendapat 4 x Rp 42.000.000,-  : 6   = Rp 28.000.000,-
Ø  Jumlah                                    = Rp 49.000.000,-
Ø  Jumlah yang dibagi                = Rp 42.000.000,-
Ø  Sisa kurang                             = Rp 7.000.000,-
Sisa kurang ini harus dipotongkan dari penerimaan masing-masing ahli waris dengan jalan memperbandingkan saham-sahamnya. Perbandingan itu ialah:
Ø  ½ : 2/3 = 3 : 4
Ø   Jumlah perbandingan = 3 + 4 = 7 = Rp 7.000.000,-
Ø  Potongan suami = 3/7 x Rp 7.000.000,- = Rp 3.000.000,-
Ø  Potongan 2 saudari. = 4/7 x Rp 3.000.000,- = Rp 4.000.000,-
Ø  Penerimaan suami Rp 21.000.000,-Rp 3.000.000,- = Rp 18.000.000,-
Ø  Penerimaan 2 saudari kandung Rp 28.000.000,- Rp 4.000.000,-
= Rp 24.000.000,- : 2 = Rp 12.000.000,-

c)      Menurut cara Ketiga
Jumlah harta yang dibagi sebesar Rp 42.000.000,-. Perbandingan saham suami dibandingkan dengan saham 2 saudari sekandung ialah 1/2 : 2/3 = 3 : 4, jumlah perbandingan saham mereka 3+4 = 7 = Rp 42.000.000,-
Dengan demikian maka menurut cara Ketiga ini:
Ø  Penerima suami = 3/7 x Rp 42.000.000,-  = Rp 18.000.000,-
Ø  Penerima 2 sdri. = 4/7 x Rp 42.000.000,-  = Rp 24.000.000,-
Ø  Penerimaan masing-masing saudari = Rp 24.000.000,- : 2 = Rp 12.000.000,-
Jelas kiranya bahwa melalui Ketiga cara penyelesaian tersebut hasilnya sama, hanya cara pertama lebih praktis, karena itu cara ilmiah yang lazim diikuti oleh para ahli faraidh.[2]
Contoh 2: Dimisalkan seseorang meninggal dunia, ahli warisnya terdiri dari : ibu, bapak, istri, dan 2 anak permpuan. Harta warisannya Rp. 27.000.000,- Bagian masing-masing :

Ahli Waris
F
AM=24
Aul 27
Penerimaan
Ibu
1/6
4
4/27x Rp 27.000.000
Rp 4.000.000
Bapak
1/6
4
4/27x Rp 27.000.000
Rp 4.000.000
Istri
1/8
3
3/27x Rp 27.000.000
Rp 3.000.000
2 Anak Perempuan
2/3
16
16/27xRp 27.000.000
Rp 16.000.000
Jumlah

27

Rp. 27.000.000

Dan masing-masing anak mendapatkan Rp 16.000.000 : 2= Rp 8.000.000
B.     Radd
1.      Pengertian Radd
Radd dapat dikatakan kebalikan dari aul, yang dari segi bahasa artinya pengembalian. Sedangkan menurut ulama faradiyun, radd adalah pengembalian bagian yang tersisa dari bagian dzawil furud nasabiyah kepada mereka sesuai dengan besar kecilnya bagian masing-masing bila tidak ada lagi orang lain yang berhak menerimanya.[3]
2.      Rukun-rukun Radd
Radd terjadi bila memenuhi tiga rukun sebagai berikut :
a)      Adanya ashabul furud
b)      Adanya kelebihan harta peninggalan setelah dibagikan kepada masing-masing ashabul furud.
c)      Tidak ada ahli waris ashabah.[4]
Apabila ketiga rukun itu tidak terpenuhi, tidak akan terjadi radd. Misalnya apabila para ahli waris semuanya terdiri atas asabah, atau beberapa orang ashabul furud dan seorang ashabah, harta peninggalannya tidak akan tersisa atau kurang. Begitu juga apabila jumlah saham dari ahli waris sebesar jumlah asal masalah, sehingga tidak ada kelebihan sedikitpun sehingga tidak akan terjadi masalah radd.

3.      Cara Penyelesaian Masalah Radd
Cara untuk menyelesaikan masalah Rod terbagi menjadi beberapa bagian, diantaranya:
a)      Jika diantara para ahli waris tidak didapatkan seorang yang diketahui mewarisi Radd, maka penyelesaiannya adalah:
Ø  Dicari dahulu saham-saham para ahli waris Ashabul Furudh
Ø  Saham-saham para Ashabul Furudh tersebut di jumlahkan
Ø  Jumlah dari saham-saham itu dijadikan asal masalah baru.
b)      Jika diantara ahli waris terdapat seorang yang ditolak menerima Radd, maka penyelesainnya adalah:
Ø  Seluruh Ashabul Furudh diambil bagiannya masing-masing menurut besar kecilnya
Ø  Sisannya diberikan kepada mereka yang berhak saja, menurut perbandingan masing-masing.[5]

4.      Cara Menghitung Radd
Dimisalkan seseorang meninggal dunia, ahli warisnya terdiri dari : anak perempuan dan ibu. Harta warisannya Rp. 12.000.000,- Bagian masing-masing :
a)      Jika tidak ditempuh dengan cara Radd :
Ahli Waris
F
AM=6

Penerimaan
Ibu
1/6
1
1/6 x Rp. 12.000.000
Rp. 2.000.000
Anak Perempuan
1/2
3
1/2 x Rp. 12.000.000
Rp. 6.000.000
Jumlah

4

Rp. 8.000.000

Jika harta warisan di bagi sesuai dengan kaidahnya, maka akan sisa. Seperti yang ada dalam contoh diatas. Maka dari itu solusinya adalah dengan memperkecil AM seperti berikut.

b)      Jika ditempuh dengan cara Radd[6]
Ahli Waris
F
AM=6
Rod 4
Penerimaan
Ibu
1/6
1
¼ x Rp. 12.000.000
Rp. 3.000.000
Anak Perempuan
1/2
3
¾ x Rp. 12.000.000
Rp. 9.000.000
Jumlah

4

Rp. 12.000.000












BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Aul adalah keadaan berlebihnya jumlah penerimaan warisan para ahli waris terhadap angka asal masalah sehingga apabila dibagi-bagi dengan ahli waris lainnya tidak akan cukup untuk memenuhi bagian ahli waris dzawil furud.
Ada tiga cara untuk menyelesaikan masalah Aul ini, yaitu:
a)    Membesarkan asal masalah sesuai dengan meningkatnya saham masing-masing dengan jalan:
Ø  Menetapkan Furudhul Muqaddarah (Bagian tertentu masing-masing) dan Asal masalahnya.
Ø  Mencari saham masing-masing dan memahjubkannya
b)   Mengurangi penerimaan masing-masing bagian yang telah ditetapkan sesuai bagian ahli waris.
c)    Membandingkan bagian masing-masing untuk mengetahui berapa harta tiap-tiap bagian.
Radd dapat dikatakan kebalikan dari aul, yang dari segi bahasa artinya pengembalian. Sedangkan menurut ulama faradiyun, radd adalah pengembalian bagian yang tersisa dari bagian dzawil furud nasabiyah kepada mereka sesuai dengan besar kecilnya bagian masing-masing bila tidak ada lagi orang lain yang berhak menerimanya.
Radd terjadi bila memenuhi tiga rukun sebagai berikut :
a)      Adanya ashabul furud
b)      Adanya kelebihan harta peninggalan setelah dibagikan kepada masing-masing ashabul furud.
c)      Tidak ada ahli waris ashabah
Cara untuk menyelesaikan masalah Rod terbagi menjadi beberapa bagian, diantaranya:
a)      Jika diantara para ahli waris tidak didapatkan seorang yang diketahui mewarisi Radd, maka penyelesaiannya adalah:
Ø  Dicari dahulu saham-saham para ahli waris Ashabul Furudh
Ø  Saham-saham para Ashabul Furudh tersebut di jumlahkan
Ø  Jumlah dari saham-saham itu dijadikan asal masalah baru.
b)      Jika diantara ahli waris terdapat seorang yang ditolak menerima Radd, maka penyelesainnya adalah:
Ø  Seluruh Ashabul Furudh diambil bagiannya masing-masing menurut besar kecilnya
Ø  Sisannya diberikan kepada mereka yang berhak saja, menurut perbandingan masing-masing.
























DAFTAR PUSTAKA

Hamid, Zuhri dkk. 1986.  Ilmu Fiqh 3. Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama  Islam Departemen Agama.
Syarifuddin, Amir. 2004. Hukum Kewarisan Islam. Jakarta: Kencana.
Umam, Dian Khairul. 2000. Fiqh Mawaris. Bandung: Pustaka Setia.
https://hendraazmi.files.wordpress.com/2001/03/fiqih-aul-dan-radd.docx, diakses pada tanggal 24 Maret 2015 pkl. 15.12 WIB.
www.alkhoirot.net/2012/09/warisan-dalam-islam.html?m=1, diakses pada tanggal 24 Maret 2015 pkl. 19.32 WIB.


[1] Drs. Dian Khairul Umam, Fiqh Mawaris,(Bandung: Pustaka Setia,2000),hlm.133.
[2] Drs. Zuhri Hamid, dkk., Ilmu Fiqh 3, (Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama, 1986), hlm.124-15.
[3] Drs. Dian Khairul Umam, Fiqh Mawaris,(Bandung: Pustaka Setia,2000), hlm.147.
[4] Ibid, hlm.148.
[5] www.alkhoirot.net/2012/09/warisan-dalam-islam.html?m=1, di akses pada tanggal 24 Maret 2015 pkl. 19.32 WIB.

[6] https://hendraazmi.files.wordpress.com/2001/03/fiqih-aul-dan-radd.docx, diakses pada tanggal 24 Maret 2015 pkl. 15.12 WIB.