SOLIDARITAS
DAN HUKUM
Dari sudut sejarah, Sosiologi Hukum untuk
pertama kalinya diperkenalkan oleh seorang Itali yang bernama Anzilotti, pada
tahun 1882. Sosiologi hukum pada hakekatnya lahir dai hasil-hasil pemikiran
para ahli, baik di filsafat hukum, ilmu maupun sosiologi. Hasil-hasil pemikiran
tersebut tidak saja berasal dari individu-individu tetapi mungkin juga berasal
dari mazhab-mazhab atau aliran-aliran yang mewakili sekelompok ahli pemikir,
yang secara garis besar mempunyai pendapat yang berbeda.[1]
Sosiologi hukum saat ini sedang berkembang
pesat. Ilmu ini diarahkan untuk menjelaskan hukum positif yang berlaku (artinya
isi dan bentuknya yang berubah-ubah menurut waktu dan tempat), dengan bantuan
factor-faktor kemasyarakatan.[2]
Emile Durkheim merupakan ilmuwan sosiolog dari
Prancis. Ia lahir tahun 1858 dan meninggal tahun 1917. Emile Durkheim merupakan
ilmuwan sosial yang membuat suatu pengamatan dan merumuskan menjadi
pengetahuan. Ia mengatakan bahwa hukum adalah cerminan solidaritas sosial
(dalam Zulfatun Nikmah, 2012:35). Di dalam teori-teorinya tentang masyarakat,
Durkheim menaruh perhatian besar pada kaidah-kaidah hukum yang dihubungkan
dengan jenis-jenis solidaritas yang di jumpai dalam masyarakat.
Solidaritas di kemukakan oleh Emile Durkheim
yang di kutip oleh Robbert M.Z Lawang (1985:63) bahwa solidaritas sosial adalah
keadaan saling percaya antar anggota kelompok atau komunitas. Jika orang
saling percaya mereka akan menjadi satu atau menjadi sahabat, menjadi saling
menghormati, menjadi saling bertanggung jawab untuk saling membantu dalam memenuhi
kebutuhan antar sesama.[3]
Kemudian Durkheim, membagi solidaritas menjadi
dua yaitu solidaritas organik dan solidaritas mekanik, yang dimaksud dengan
solidaritas organik adalah solidaritas yang didasarkan atas
perbedaan-perbedaan, solidaritas ini muncul akibat timbulnya pembagian kerja
yang makin besar, solidaritas ini didasarkan atas tingkat ketergantungan yang
sangat tinggi. Sedangkan yang dimaksud dengan solidaritas mekanik adalah bahwa
solidaritas ini didasarkan pada tingkat homogenitas yang tinggi dalam
kepercayaan, sentiment dan sebagainya.[4]
Dalam masyarakat modern menurut Emile Durkheim, pembagian
kerja yang sangta kompleks menghasilkan solidaritas organik. Spesialisasi yang
berbeda-beda dalam bidang pekerjaan dan peranan sosial menciptakan ketergantungan
yang mengikat orang kepada sesamanya, karena mereka tidak lagi dapat memenuhi
seluruh kebutuhan mereka sendiri. Dalam masyarakat yang mekanis, misalnya,
petani gurem hidup dalam masyarakat yang swa-sembada dan terjalin bersama oleh
warisan bersama dan pekerjaan yang sama. Dalam masyarkat modern yang organik,
para pekerja memperoleh gaji dan harus mengandalkan orang lain yang
mengkhususkan diri dalam produk-produk tertentu (bahan makanan, pakaian, dll)
untuk memenuhi kebutuhan mereka. Akibat dari pembagian kerja yang semakin rumit
ini, demikian Durkheim, menyatakan bahwa kesadaran individual berkembang dalam
cara yang berbeda dari kesadaran kolektif-seringkali malah berbenturan dengan
kesadaran kolektif. [5]
Durkheim menghubungkan jenis solidaritas pada suatu
masyarakat tertentu dengan dominasi dari suatu sistem hukum. Ia menemukan bahwa
masyarakat yang memiliki solidaritas mekanis hukum sering kali bersifat
represif yaitu pelaku suatu kejahatan atau perilaku menyimpang akan terkena
hukuman, dan hal itu akan membalas kesadaran kolektif yang dilanggar oleh
kejahatan itu, hukuman itu bertindak lebih untuk mempertahankan keutuhan
kesadaran. sebaliknya, dalam masyarakat yang memiliki solidaritas organik,
hukum bersifat restitutif yakni bertujuan bukan untuk menghukum melainkan
memulihkan aktivitas normal dari suatu masyarakat yang kompleks. [6]
Jadi, perubahan masyarakat yang cepat karena semakin
meningkatnya pembagian kerja menghasilkan suatu kebingungan tentang norma dan
semakin meningkatya sifat yang tidak pribadi dalam kehidupan sosial, yang
akhirnya mengakibatkan runtuhnya norma-norma sosialyang mengatur perilaku.
Durkheim menamai keadaan ini anomie. dari keadaan anomie
muncullah segala bentuk perilaku menyimpang, dan yang paling menonjol adalah
bunuh diri. [7]
Contoh Kasus
Contoh Kasus
Tak dapat menahan hasrat seorang perangkat
desa lebih tepatnya Kepala Dusun Sumbergondo, Desa Tulungrejo, Gandusari,
Blitar tega meniduri (menyetubuhi) anak gadisnya sendiri yang saat ini berumur
18 tahun. Kejadian itu sudah terjadi sejak sang pelaku di tinggal istrinya yang
bekerja ke luar negri selama 4 tahun. Tindakan yang dilakukan Kepala Dusun tersebut di laporkan kepada pihak yang
berwenang (polisi) oleh sanak saudarannya. Polisi melakukan penyelidikan dengan
bukti-bukti berupa pesan singkat dan percakapan melalui ponsel, serta baju yang
terakhir dipakai oleh korban.
Berita tentang kejadian tersebut telah
menyebar luas sampai ke media sosial. Sebagian besar masyarakat yang mendengar
tentang kasus tersebut merasa ikut prihatin terhadap nasib si gadis yang
menjadi korban. Warga sekitar Dusun Sumbergondo dalam hal ini tidak ikut campur
untuk mengadili tersangka karena kasus tersebut dianggap urusan pribadi dan
sudah diserahkan kepada pihak kepolisian. Masyarakat menyayangkan kejadian ini
terjadi kepada Kepala Dusunnya karena sosok pemimpin yang seharusnya bisa
dijadikan contoh dalam berperilaku justru menyimpang dari aturan dan norma.
Kesimpulan
Dari contoh kasus diatas jika dikaitkan dengan
teori Emile Durkheim yaitu teori solidaritas, maka dapat disimpulkan bahwa
masyarakat di desa Tulungrejo pada dasarnya tergolong masyarakat organis meski
berada di pedesaan. Hal ini dapat dilihat dari jenis pekerjaan yang sudah mulai
beragam mulai dari petani, TKI, perangkat desa, dll. Hukum yang bersifat
restitutif diberikan masyarakat kepada pelaku yang bertujuan bukan
untuk menghukum melainkan untuk memulihkan aktivitas normal dari suatu
masyarakat yang kompleks. Contoh kasus diatas menerangkan bahwa pada masyarakat
pedesaan yang terkenal dengan masyarakat paguyuban tidak selamanya tergolong
jenis solidaritas mekanis. Disini terlihat masyarakat pedesaan ingin berubah
pandangan dari solidaritas mekanis menuju solidaritas organis. Masyarakat telah
mempercayakan kepada Badan Penegak Hukum untuk mengurusi masalah-masalah
pelanggaran maupun penyimpangan yang terjadi di wilayahnya.
Daftar Pustaka
Anwar,
Yesmil & Adang (2008).(Pengantar Sosiologi Hukum). From https://books.google.co.id/books?id=SP84Maxo6n4C&printsec=frontcover&dq=pengantar+sosiologi+hukum&hl=en&sa=X&redir_esc=y#v=onepage&q=pengantar%20sosiologi%20hukum&f=false, 17 Sepetember 2015
related:repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/3831/BAB%20II.docx?sequence=2
solidaritas menurut para ahli, 17 September 2015
https://id.wikipedia.org/wiki/%C3%89mile_Durkheim, 17 September
2015
[1] Anwar, Yesmil
& Adang, Pengantar Sosiologi Hukum, PT. Grasindo, Jakarta, 2008,
hlm. 109
[2] Ibid.
[3] related:repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/3831/BAB%20II.docx?sequence=2
solidaritas menurut para ahli, 17 September 2015
[6] Ibid.
Nilai 85
ReplyDelete