KASUS I
Kekerasan
Seksual Anak: Waspada dan Hukuman Berat by TanyaDok.com
Berita Terkini Belum lama ini terdengar kabar tentang kekerasan seksual
terhadap anak berumur enam tahun. AK (6) merupakan korban kekerasan seksual
yang dilakukan oleh petugas kebersihan sekolah di TK Jakarta Internasional
School (JIS) di Pondok Indah, Jakarta Selatan. Ibunda AK, Th, melaporkan
kejadian ini ke Mapolda Metro Jaya. Menurutnya, berdasarkan pengakuan anaknya,
kejadian ini terjadi di toilet sekolahnya dan dilakukan oleh lebih dari satu
orang dan beberapa kali. Ada petugas kebersihan yang berjaga di sana yang
menunggu kedatangan AK. Petugas itu kemudian menyekap AK dan melakukan tindakan
asusila kepada bocah malang tersebut. Th mengaku sudah curiga ada hal yang
tidak beres terjadi pada anaknya karena beberapa kali melihat anaknya sengaja
buang air kecil di rumah sebelum berangkat sekolah. Selain itu, kadang AK
menekan penisnya secara sengaja untuk mengeluarkan kencing karena takut kencing
di sekolah. 20 Maret 2014, Th melihat bekas luka di tubuh AK dan AK
menceritakan bahwa ada yang berbuat jahat kepadanya di toilet sekolah.
Mendapatkan keterangan tersebut, Th melaporkan kejadian ini kepada Unit
Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polda Metro Jaya. Sampai saat ini, Agun
dan kawannya Firziawan ditetapkan sebagai tersangka. Mereka diduga melakukan
perbuatan asusila terhadap AK di toilet sekolah tersebut pada Maret 2014 silam,
bersama dua orang lainnya. Arist Merdeka Sirait selaku Ketua Komisi Nasional
Perlindungan Anak (Komnas PA) mengatakan, pihak JIS harus bertanggung jawab
atas kasus tersebut meskipun melibatkan pekerjanya yang berstatus pekerja alih
daya. “Mau tidak mau, JIS harus tanggung jawab secara perdata dan pidana karena
itu terjadi di lingkungan sekolah dan dilakukan oleh pekerja JIS,” ujar Arist.
Orang tua harus selalu waspada Menanggapi kasus kekerasan seksual di atas, tim
TanyaDok melakukan wawancara seorang dokter spesialis anak, dr. Ariani Dewi
Widodo, SpA, salah satu dokter spesialis anak yang aktif dalam komunitas dokter
TanyaDok. Komentar pertama dokter spesialis lulusan FKUI ini saat diwawancara
adalah “Kasus ini bukan lagi sekedar pelecehan seksual, tapi sudah kekerasan
seksual!” Saat ditanyakan mengenai dampak peristiwa ini terhadap korban anak,
ia menjelaskan, “Anak sangat mungkin untuk mengalami gangguan tumbuh kembang,
terutama gangguan psikologis. Anak bisa mengalami mimpi buruk, gangguan tidur,
gangguan makan, takut kepada orang lain atau tempat tertentu yang berasosiasi
dengan kejadian, stres pascatrauma. Semua gejala ini sudah tampak pada korban
seperti pemberitaan di media-media.” “Selain itu, dalam jangka panjang anak
bisa menjadi orang yang menarik diri, depresi, cemas, rendah diri dan prestasi
belajar menurun. Risiko anak untuk mengalami kepribadian multipel juga
meningkat,” lanjutnya. Dokter spesialis anak yang juga mengelola klinik
kesehatan anak di bilangan Tanjung Duren, Tania Kids Center, juga menuturkan
bahwa anak dengan riwayat korban kekerasan seksual berisiko tinggi juga dengan
penyalahgunaan obat, prostitusi dan perilaku yang senang menyakiti diri
sendiri. Saat ditanyakan mengenai peran ibu atau orang tua dalam kejadian
kekerasan seksuai ini, beliau mengatakan, “Orang tua dan keluarga harus
mendampingi anak karena anak korban kekerasan seksual perlu dukungan penuh
seluruh keluarga dan peer group karena kejadian demikian sangat traumatis.
Konseling psikologis intensif diperlukan bersamaan dengan perhatian penuh. Anak
juga harus diamankan dari orang-orang yang mungkin menyakitinya.” “Orang tua
harus selalu memastikan keamanan anak. Pastikan anak selalu dititipkan pada
orang yang dipercaya.” Beliau juga memberikan catatan khusus bahwa kekerasan
seksual pada anak paling sering dilakukan oleh anggota keluarga atau orang yang
dikenal oleh anak. “Orang tua harus waspada bila anak mengalami gejala ke arah
penyakit akibat hubungan seksual misalnya, keputihan berulang, perdarahan anus,
nyeri pada vagina atau anus, gangguan saat buang air kecil atau buang air besar
yang tidak biasanya. Adanya cedera pada bagian payudara, bokong, perut bawah,
paha, sekitar alat kelamin, anus juga bisa menjadi sebuah petanda kecurigaan
adanya kekerasan seksual. Tanda lainnya adalah bila ada celana dalam yang robek
atau berdarah.” Pencegahan kekerasan seksual yang terjadi pada anak melibatkan
banyak faktor tapi salah satu cara pencegahan adalah dengan mengenalkan kepada
anak sejak dini apa saja hal yang normal atau baik dilakukan orang lain (atau
OK) atau yang tidak wajar bila dilakukan orang lain (atau not OK). Di akhir
wawancara, beliau juga berpesan, “Orang tua harus selalu waspada karena
seringkali pelakunya adalah orang dekat yang tidak disangka-sangka!” Hukuman
berat untuk pelaku pedofilia homoseksual Di kesempatan lain, tim TanyaDok juga
melakukan wawancara singkat dengan dr. Dharmawan Purnama, SpKJ, dokter
spesialis kedokteran jiwa yang tergabung dalam jaringan dokter TanyaDok.
“Dampak peristiwa ini bagi si korban anak bisa meluas ke mana-mana, mulai dari
perkembangan psikologis sampai menjadi psikopatologi yang bisa menjurus ke
gangguan psikiatrik. Dampak ini bisa dialami sejak saat ini misalnya mimpi
buruk dan takut ke toilet seperti pada pemberitaan-pemberitaan yang beredar.
Mimpi buruk dan takut ke toilet ini bisa jadi merupakan manifestasi depresi
atau PTSD (posttraumatic stress disorder)”, tutur dokter yang mengecam para
pelaku kejahatan seksual ini. Menurut beliau, potensi terburuk gangguan
psikiatrik yang bisa dialami oleh sang korban adalah “Korban bisa menjadi
mengidap paranoia, yaitu orang yang paranoid, orang yang pencuriga dan
ketakutan.” Kondisi gangguan psikologis ini menurut dokter spesialis yang juga
direktur Smart Mind Center, bisa disembuhkan asal dilakukan intervensi
pertolongan psikologis secepatnya. Intervensi ini bisa berupa psikoterapi,
playterapi sampai psikofarmakoterapi jika diperlukan. Terkait pelaku kejahatan
seksual ini, beliau mengatakan “Pelaku kejahatan ini tampaknya adalah seorang
pedofilia homoseksual. Namun, hal ini jangan dijadikan alasan!” “Pelaku harus
dihukum yang berat untuk efek jera karena pedofilia homoseksual ini bukan
gangguan jiwa yang bebas dari hukuman! Masyarakat perlu dididik untuk
mengendalikan diri agar tidak merampas hak orang lain dan dalam kasus ini, hak
anak untuk tumbuh dan berkembang dalam lingkungan yang aman dan kondusif untuk
masa depannya yang cerah”, tegasnya. Demikian ulasan khusus tim TanyaDok
mengenai kasus kekerasan seksual pada anak yang saat ini marak dibicarakan di
media-media. Semoga dengan ulasan ini, para Sobat TanyaDok khususnya para orang
tua bisa lebih waspada dan menjadikan peristiwa ini sebuah pembelajaran karena
anak adalah titipan Tuhan dan anugrah yang terindah dari-Nya. Ditulis
oleh Gloria Safira dan dr. Agnes Susanto (review medis)
Jawaban TanyaDok.com di : http://www.tanyadok.com/berita/kekerasan-seksual-anak-waspada-dan-hukuman-berat
Sumber: http://www.tanyadok.com/anak/mengatasi-kesulitan-belajar-pada-anak
Kasus Kekerasan Seksual JIS Dinilai Bukti
Pengaruh Opini Publik
By
Setelah
pemeriksaan selama 10 jam, guru Jakarta International School (JIS) Neil
Bantleman dan Ferdinant Tjiong resmi ditahan pada Senin 14 Juli 2014 kemarin.
Penahanan itu terkait dugaan pelecehan seksual di terhadap anak di bawah umur.
Liputan6.com,
Jakarta - Kasus dugaan kekerasan seksual anak di
Jakarta International School (JIS), dinilai salah satu bukti opini publik
berhasil merekayasa fakta peristiwa yang sesungguhnya terjadi. Penilaian ini
menyusul vonis 2 guru JIS, Ferdinant Tjong dan Neil Bantleman, serta 5 pekerja
kebersihan PT ISS dalam dugaan pelecehan seksual di JIS.
Guru Besar Fakultas Psikolog Universitas Atmadjaya Jakarta Irwanto menilai,
kasus JIS sangat aneh jika dibandingkan kasus pelecehan seksual lain yang dampaknya
jauh lebih besar. Publik dan aparat penegak hukum diarahkan untuk menghakimi
JIS secara cepat dengan opini yang terstruktur dan massif.
"Opini publik yang begitu luar biasa menghakimi JIS ikut menentukan
putusan di dalam ruang sidang. Semoga majelis banding tidak terpengaruh opini
publik, tapi benar-benar mengungkap kebenaran yang sesungguhnya," ujar
Irwanto, Senin (13/4/2015).
Menurut Irwanto, kondisi itu yang tidak disadari sebagian penegak hukum, di
mana mereka malah ikut terjebak dalam pusaran dugaan rekayasa. Para penegak
hukum sudah punya target, yakni segera menemukan pelakunya, lalu menghukum dan
memenjarakan.
"Bukti-bukti yang digunakan untuk menjerat pekerja kebersihan ISS dan 2
guru JIS itu sangat lemah. Keterangan saksi korban yang masih di bawah 10 tahun
harus diuji lagi. Anak itu harus didampingi psikolog dan hasilnya masih harus
diuji lagi oleh seorang psikolog. Jadi, proses penyidikan dalam kasus ini yang
demikian cepat menjadi tidak lazim dan sangat aneh," ucap Irwanto.
Irwanto menyebut, dengan melihat rekaman video saat rekonstruksi penyidik di JIS,
saksi korban masih tetap bermain. Dia dengan ceria berlarian dan tidak
terganggu saat polisi dan orangtuanya mencari lokasi kejadian. Hal ini
menunjukkan anak itu tidak memiliki rasa trauma sama sekali, padahal ada
kejadian yang dialaminya di sekolah itu.
"Saya sudah melihat rekaman videonya. Kalau anak korban kekerasan seksual
berkali-kali akan sangat trauma, bila datang ke tempat dia disakiti," ucap
dia.
Irwanto menilai, digunakannya JIS sebagai panggung bagi pihak-pihak tertentu
semakin terlihat, dengan adanya gugatan US$ 125 juta oleh ibu pelapor. Bahkan,
si ibu sampai harus merevisi nilai gugatannya dari sebelumnya US$ 12,5 juta
kepada JIS.
Munculnya gugatan senilai triliunan rupiah yang hampir berbarengan dengan
laporan kasus itu ke polisi, menurut Irwanto, menjadi bukti kuatnya unsur
dugaan rekayasa dalam kasus JIS.
Rekayasa Sistematis
Tak cuma Irwanto, kekecewaan juga diungkapkan Koordinator Kontras Haris Azhar.
Menurut dia, kepolisian telah menggunakan hukum untuk mengadudomba Kejaksaan
Agung dan majelis hakim. Hal ini terbukti dari putusan hakim yang menggunakan
seluruh materi BAP dalam memutuskan pidana kepada pekerja kebersihan ISS dan 2
guru JIS.
"Tuduhan kekerasan seksual terhadap 3 siswa JIS adalah sebuah rekayasa
sistematis. Prosesnya yang begitu singkat dan informasi yang berubah-ubah
menjadi bukti bahwa kasus ini murni kriminalisasi dengan motif utama
materi," ujar Haris.
Menurut Haris, dari pantauan Kontras, persidangan terhadap pekerja kebersihan
ISS dan 2 guru JIS hanya menguatkan cerita dalam BAP. Sementara fakta-fakta
lain dari saksi dan ahli selalu diabaikan. Bahkan, munculnya fakta media yang
mengungkap tidak adanya kekerasan seksual terhadap salah satu korban juga
diabaikan.
Pada Kamis 2 April 2015, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang
diketuai Nuraslam Bustaman, dengan anggota Achmad Rivai dan Baktar Jubri
Nasution menjatuhkan vonis bersalah kepada 2 terdakwa kasus ini yang merupakan
guru JIS, Ferdinant Tjong dan Neil Bantleman. Keduanya dihukum pidana penjara
selama 10 tahun dan membayar denda Rp 100 juta subsider 6 bulan kurungan.
Sementara 5 pekerja kebersihan PT ISS yang juga jadi terdakwa kasus kekerasan seksual JIS, divonis pidana 7
sampai 8 tahun penjara. Mereka adalah Agun Iskandar, Zainal Abidin, Syahrial,
Afriska, dan Virgiaman Amin. Orang-orang miskin ini juga diwajibkan membayar
ganti rugi sebesar Rp 100 juta subsider 6 bulan kurungan. (Rmn)
Kamis, 20
Agustus 2015
MA Tolak Kasasi
Petugas Kebersihan JIS
Kuasa hukum
petugas kebersihan JIS ini berencana akan mengajukan PK.
Petugas
kebersihan JIS saat menjalani sidang di PN Jaksel. Foto: RES
Upaya lima petugas kebersihan Sekolah TK di Jakarta
International School (JIS) agar mendapatkan keringanan hukuman kandas di
Mahkamah Agung (MA). Upaya hukum lima terpidana petugas kebersihan JIS ditolak
majelis hakim kasasi MA, seperti dikutip laman resmi MA.
“Tolak,” demikian bunyi petikan putusan dengan nomor perkara No.
1511/PID.SUS/2015 atas nama terdakwa Syahrial bin Nasrul Jaya, seperti dikutip dari website MA, Kamis
(20/8). Putusan tingkat kasasi ini ditangani majelis hakim yang diketuai Salman
Luthan beranggotakan Sumardijatmo dan Margono. Perkara ini diputus pada 28 Juli
2015 lalu.
Permohonan kasasi empat terdakwa lainnya juga ditolak MA dengan majelis hakim
dan tanggal putusan yang sama. Mereka adalah Virgiawan Amin berdasarkan petikan putusan kasasi No.
1512 K/PID.SUS/2015, Afrischa Setyani 1513 K/PID.SUS/2015, Agun Iskandar
petikan putusan kasasi No. 1515 K/PID.SUS/2015, dan Zainal Abidin petikan
putusan No. 1517 K/PID.SUS/2015.
Salah satu kuasa hukum petugas kebersihan JIS, Saut Raja keberatan dengan vonis
kasasi dari MA ini. “Kami keberatan, tetapi kami belum bisa berkomentar apa-apa
karena putusannya belum kami terima,” ujar Saut Raja, saat dihubungi wartawan.
Meski begitu, dia menegaskan pihaknya berencana akan mengajukan upaya
peninjauan kembali (PK) agar bisa mengoreksi vonis penjara sebelumnya. “Kami
pasti akan ajukan PK,” tegasnya.
Sebelumnya, pada 22 Desember 2014 lalu, Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan (PN Jaksel) menjatuhkan vonis 8 tahun penjara
dan denda Rp100 juta terhadap Syahrial, Virgiawan, Zainal, dan Agun dalam kasus
kekerasan (pelecehan) seksual terhadap murid TK berinisial M (7 tahun) di JIS.
Sedangkan, dalam susunan majelis yang berbeda, terdakwa lain Afrisca divonis 7
tahun penjara dengan denda Rp 100 juta subsider tiga bulan penjara.
Majelis menganggap kelima terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan
tindak kekerasan dan berbuat cabul terhadap anak. Mereka dianggap terbukti
melanggar Pasal 82UU No. 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak juncto Pasal 55 ayat (1) KUHP tentang turut
serta melakukan perbuatan kekerasan cabul. Lalu, putusan ini dikuatkan
Pengadilan Tinggi DKI Jakarta hingga akhirnya diajukan kasasi ke MA.
Nasib lima petugas kebersihan ini bertolak belakang dengan dua guru JIS yang
juga tersangkut kasus serupa. Permohonan pengajuan banding Neil Bantleman dan
Ferdinant Tjiong justru dikabulkan Majelis Hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta
pada diputus pada 10 Agustus lalu. Keduanya, dinyatakan bebas karena tidak
terbukti melakukan pelecehan seksual terhadap murid TK JIS.
Padahal, pada 3 April lalu, Majelis Hakim PN Jakarta Selatan menjatuhkan hukuman 10 penjara dan
denda Rp100 juta subsider 6 bulan kurungan kepada kedua mantan guru JIS itu
dalam perkara terpisah. Keduanya, dinilai terbukti melanggar Pasal 82 UU
Perlindungan Anak juncto Pasal 65 ayat (1) KUHP lantaran terbukti melakukan
tidak pidana kekerasan seksual terhadap muridnya.
Sumber: http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt55d57301e19b1/ma-tolak-kasasi-petugas-kebersihan-jis
KASUS II
KPAI Minta Bocah yang Dianiaya Bapak Kandung
Dirawat Ibunya
Liputan6.com, Jakarta - Sudah 3 hari ini meja dan bangku Angga Septian
di Kelas 5 B SDN 03 Kalibaru, Cilincing, Jakarta Utara kosong. Angga tidak bisa
masuk sekolah sejak menjadi korban kekerasan dan penganiayaan oleh ayah
kandungnya sendiri.
Seperti ditayangkan Liputan 6 Petang SCTV, Rabu (27/8/2014), bocah berusia 11
tahun itu kini masih mendapat perawatan intensif di Rumah Sakit Umum Daerah
(RSUD) Koja, Jakarta Utara akibat sejumlah luka di wajah dan kepalanya.
Di mata teman sekelas dan guru, Angga dikenal sebagai anak yang baik. Kekerasan
fisik yang kerap diterima Angga dari sang ayah diduga turut membentuk perilaku
siswa kelas 5 itu. Sejumlah guru dan teman-temannya di sekolah berdoa untuk
kesembuhan Angga.
Sementara, siang tadi Sekjen Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Erlinda
juga menjenguk Angga di RSUD Koja. Erlinda meminta agar Angga dirawat dan
tinggal bersama ibu kandungnya.
"Kita (KPAI) minta ibu kandungnya bertanggung jawab. Namun kita tetap akan
melakukan konseling. Kita juga akan melakukan pendampingan. Kita akan turun
langsung melihat bagaimana ibu ini bertanggung jawab" kata Erlinda.
Sementara itu, Septiani ibu kandung Angga menyanggupi untuk mengasuh putra
sulungnya itu. Ia juga mengaku, sebelum pindah rumah Angga juga tinggal
bersamanya.
"Dulu sebelum sama bapaknya juga diasuh sama saya. Setelah saya pindah
rumah sudah setahun ini dia nggak sama saya. Cuma sekarang sering
dititipkan ke saya, terus dijemput lagi. " kata Septiani.
Septiani juga mengatakan, ia ingin Angga tinggal bersamanya saja. Namun mantan
suaminya yang kini menjadi tersangka penganiayaan anaknya menolak permintaan
tersebut.
"Saya sudah bilang, nggak usah dijemput-jemput. Biar sama saya
saja. Tapi dia bilang, jangan buat nemenin saya. Saya nggak ada temannya" imbuh Septiani.
Angga dianiaya ayah kandungnya Minggu 24 Agustus malam lalu. Selain mendapatkan
perlakuan kasar, bocah 11 tahun itu juga diborgol agar tidak kabur dari rumah.
Namun ia berhasil menyelamatkan diri dan ditolong warga saat kondisi rumah
tengah sepi.
Kini sang ayah berinisial N telah ditetapkan sebagai tersangka dan menjalani
pemeriksaan intensif di Polres Metro Jakarta Utara. Atas tindakannya tersebut,
N akan dijerat pasal 44 Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Kekerasan dalam
Rumah Tangga dengan ancaman hukuman di atas 5 tahun penjara.
Sumber: http://news.liputan6.com/read/2097309/kpai-minta-bocah-yang-dianiaya-bapak-kandung-dirawat-ibunya
Berikut tabel dari kasus I dan kasus II
Kasus
|
Jenis
Pidana
|
Korban
|
Jumlah
Kerugian
|
Perlakuan
Aparat (polisi,jaksa, dan hakim)
|
Fasilitas
yang Diterima
|
||
Nama
|
Jumlah
|
Materiil
|
Immateriil
|
||||
(I)Melibatkan
terdakwa yang berada di lapisan masyarakat yang berbeda
(lapisan
sosial bawah dan atas)
|
Kekerasan
seksual anak
|
AK
(nama disamarkan)
|
1
orang (yang diketahui)
|
-
|
Anak sangat mungkin untuk mengalami gangguan tumbuh
kembang, terutama gangguan psikologis. Anak bisa mengalami mimpi buruk,
gangguan tidur, gangguan makan, takut kepada orang lain atau tempat tertentu
yang berasosiasi dengan kejadian, stres pascatrauma
Selain itu, dalam jangka panjang anak bisa menjadi orang
yang menarik diri, depresi, cemas, rendah diri dan prestasi belajar menurun
|
Di
vonis penjara 7 sampai 8 tahun (bagi 5 petugas kebersihan JIS yang menjadi
terdakwa)
Dibebaskan
dari hukuman (bagi 2 guru JIS yang menjadi terdakwa)
|
-
|
(II)Melibatkan
terdakwa dari lapisan sosial bawah
|
Penganiayaan
|
Angga
Septian
|
1
|
-
|
Penyakit
fisik, kecacatan hingga kematian, depresi, fobia, insomnia, keterlambatan
psikomotor & intelektual, kesulitan belajar, perilaku agresif
|
Dijerat
pasal 44 Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga
dengan ancaman hukuman di atas 5 tahun penjara.
|
-
|
ANALISIS SOSIOLOGIS
Pelapisan sosial atau stratifikasi sosial (social
stratification) adalah pembedaan
atau pengelompokan para anggota masyarakat secara
vertikal (bertingkat).
kuran atau kriteria yang menonjol atau dominan
sebagai dasar pembentukan pelapisan sosial adalah sebagai berikut.
Ukuran kekayaan
Kekayaan (materi atau kebendaan) dapat dijadikan
ukuran penempatan anggota masyarakat ke
dalam lapisan-lapisan sosial yang ada, barang siapa memiliki kekayaan paling
banyak mana ia akan termasuk lapisan teratas dalam sistem pelapisan sosial,
demikian pula sebaliknya, yang tidak mempunyai kekayaan akan digolongkan ke
dalam lapisan yang rendah. Kekayaan tersebut dapat dilihat antara lain pada
bentuk tempat tinggal, benda-benda tersier yang dimilikinya, cara
berpakaiannya, maupun kebiasaannya dalam berbelanja,serta kemampuannya dalam
berbagi kepada sesama
Ukuran
kekuasaan dan wewenang
Seseorang yang mempunyai kekuasaan atau
wewenang paling besar akan menempati lapisan teratas dalam sistem pelapisan
sosial dalam masyarakat yang bersangkutan. Ukuran kekuasaan sering tidak lepas
dari ukuran kekayaan, sebab orang yangkaya dalam masyarakat
biasanya dapat menguasai orang-orang lain yang tidak kaya, atau sebaliknya,
kekuasaan dan wewenang dapat mendatangkan kekayaan.
Ukuran
kehormatan
Ukuran kehormatan dapat terlepas dari
ukuran-ukuran kekayaan atau kekuasaan. Orang-orang yang disegani atau dihormati
akan menempati lapisan atas dari sistem pelapisan sosial masyarakatnya. Ukuran
kehormatan ini sangat terasa padamasyarakat tradisional,
biasanya mereka sangat menghormati orang-orang yang banyak jasanya kepada masyarakat,
para orang tua ataupun orang-orang yang berprilaku dan berbudi luhur.
Ukuran ilmu
pengetahuan
Ukuran ilmu pengetahuan sering dipakai oleh
anggota-anggota masyarakat yang menghargai ilmu pengetahuan. Seseorang yang
paling menguasai ilmu pengetahuan akan menempati lapisan tinggi dalam sistem
pelapisan sosial masyarakat yang bersangkutan. Penguasaan ilmu pengetahuan ini
biasanya terdapat dalam gelar-gelar akademik (kesarjanaan), atau profesi yang
disandang oleh seseorang, misalnya dokter, insinyur, doktorandus, doktor
ataupun gelar profesional seperti profesor. Namun sering timbul akibat-akibat
negatif dari kondisi ini jika gelar-gelar yang disandang tersebut lebih dinilai
tinggi daripada ilmu yang dikuasainya, sehingga banyak orang yang berusaha
dengan cara-cara yang tidak benar untuk memperoleh gelar kesarjanaan, misalnya
dengan membeli skripsi, menyuap, ijazah palsu dan seterusnya.
sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/Stratifikasi_sosial
Dari paparan kedua kasus diatas, kasus I melibatkan 5 orang petugas kebersihan (lapisan bawah) serta 2 orang guru (lapisan atas) sebagai terdakwa. Sedangkan kasus II melibatkan seorang ayah (lapisan bawah) sebagai terdakwa. Di lihat dari kasus I sudah nampak keterpihakan hukum terhadap orang yang berada di lapisan atas bahwa mereka dibebaskan dari jeratan hukum padahal pada awalnya mereka di kenakan hukuman atas kasus tersebut. Sedangkan 5 orang tersangka dari lapisan bawah tetap di kenakan hukuman penjara 7 sampai 8 tahun penjara. Nasib serupa juga dialami seorang ayah (berada di lapisan bawah), bahwa ia dijerat pasal 44 Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga dengan ancaman hukuman di atas 5 tahun penjara.
Dari kedua kasus diatas dapat dilihat bahwa ada perbedaan antara lapisan atas dan lapisan bawah perihal penentuan hukum.(yl)
Nilai 80.
ReplyDeleteMusiknya bagus
Trimakasih :)
DeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDeleteOw. Gt ya. Say pgen bsa loh
ReplyDelete